Minggu, 16 Juli 2017

Spirit Eru Tjokro Putri Soekarno


     Indonesia merupakan Negara dengan banyak suku dan budaya. Keanekaragaman yang ada merupakan manifestasi dari kepercayaan terhadap adat, agama, dan tradisi. Kepercayaan terhadap roh nenek moyang ( dinamisme ) dan benda-benda lain ( animisme/totemisme ) merupakan produk budaya yang telah ada sebelum masuknya Hindu-Budha, Islam, maupun Kristen.
        Local Genius merupakan faktor penting muncul dan berkembangnya sebuah kebudayaan. Secara universal kebudayaan memiliki tujuh  unsur, yang terdiri atas sistem religi, sisten organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem ekonomi, dan sistem teknologi ( Koentjaraningrat, 1974 :12 ). Perilaku masyarakat lokal akan mempengaruhi setiap produk budaya yang dihasilkan, contoh suku Jawa dan Minang memiliki hukum adat pernikahan yang berbeda meskipun memiliki kepercayaan yang sama terhadap agama islam.
      Perilaku budaya masyarakat di Indonesia umumnya fleksibel, akulturasi budaya asing dengan lokal adalah salah satu contohnya. Dalam hal kepercayaan terjadi sinkretisasi antara budaya asing dan lokal. Kepercayaan terhadap dewa-dewa pada masa kerajaan Hindu-Budha yang diselaraskan dengan lokal genius yang ada merupakan wujud sinkretisasi antara kepercayaan lokal dan asing.  
        Bagitu pula dengan fenomena kepercayaan terhadap ratu adil, dimana fenomena ini tidak hanya ada dan berkembang di masyarakat Indonesia terutama etnis Jawa. Michael Adas dalam ( Muchlisin, Damarhuda, 1999 : 132 ) pernah melakukan penelitian terhadap fenomena ratu adil dibeberapa Negara  seperti Selandia Baru, India, Afrika, Jerman, dan Burma. Secara universal dalam beberapa komunitas agama besar seperti islam dan kristen juga muncul kepercayaan terhadap ratu adil. Komunitas islam percaya bahwa pada akhir zaman akan muncul Imam Mahdi sedangkan pada komunitas kristen percaya pada kelahiran kembali Isa Al-Masih.
       Fenomena ratu adil ini sering kali muncul ketika kondisi buruk, seperti saat perang, depresi ekonomi, kerusuhan, dll. Buruknya kondisi mengakibatkan masyarakat menderita dan membutuhkan sosok yang mengerti akan penderitaan mereka. Keadaan masyarakat yang tidak kondusif sering kali melahirkan berbagai fenomena. Dalam budaya Jawa fenomena kedatangan ratu adil merupakan fenomena yang sering muncul ketika masa sulit atau kacau sedang terjadi.
Munculnya sosok ketika masa kacau selalu diidentikan dengan ratu adil. Dimasa pergerakan nasional muncul sosok yang dianggap sebagai ratu adil, seperti H.O.S Tjokroaminoto, R.A Kartini, Tan Malaka, dll. Pada masa pendudukan Jepang hingga masa Revolusi Kemerdekaan muncul nama Soekarno dan Hatta, K.H Dewantara, Sri Sultan Hamengkubuwono IX, dll.


2       Munculnya Fenomena Ratu Adil di Indonesia
             Masyarakat Indonesia memiliki berbagai kepercayaan yang  dianut turun temurun. Salah satu kepercayaan yang melekat dalam budaya jawa adalah datangnya Eru Tjokro atau Ratu Adil.  Secara etimologi Ratu dalam bahasa jawa berasal dari kata rat yang berarti bumi. Secara harfiah dalam kamus bahasa besar bahasa Indonesia ratu berarti raja wanita . Sementara itu kata adil dalam kamus besar bahasa Indonesia berarti tidak memihak.
            Namun dalam masyarakat jawa ratu bukan sekedar gelar atau jabatan. Namun lebih umum lagi dipakai sebagai penyimbolan terhadap tuhan. Terbukti dalam padanan kata Gusti Pangeran. Begitu pun di Bali, Dewa Ratu dipakai untuk merepresentasikan ketuhanan. Fenomena kepercayaan terhadap ratu adil ini merupakan warisan dari masa kerajaan Hindu-Budha, terutama yang bersumber dari kitab Jangka Jayabaya.
       Kepercayaan terhadap ratu adil ini tidak lahir dari wangsit atau bagian dari budaya di masyarakat. Kepercayaan terhadap  ratu adil sendiri  tertulis dalam naskah kuno kitab Joyoboyo.  Di dalam sejarah Raja-raja Jawa, seorang raja Kediri bernama Jayabaya pernah meramalkan bahwa akan muncul seorang yang akan menghilangkan penindasan dan membawa kesejahteraan bagi rakyat di Jawa.
        Menurut Sartono Kartodirdjo fenomena kepercayaan terhadap Ratu Adil direpresentasikan kedalam berbagai bentuk, yaitu gerakan juru selamat ( mesianism ), Ratu adil ( millenarianism ), Pribumi ( nativism ), Kenabian ( Prophetism ), dan penghidupan kembali atau menghidupkan kembali . Fenomena kepercayaan terhadap ratu adil ini merupakan manifestasi dari local genius masyarakat yang percaya akan adanya sosok yang mapu membawa perubahan baik bagi mereka.
          Namun, fenomena munculya sosok ratu adil harus dibarengi dengan legitimasi untuk mendapat kepercayaan dari masyarakat luas. Menurut Sartono Kartodirjo  dalam ( Wibowo, tanpa tahun terbit : 8 ) legitimasi menurut budaya jawa adalah peristiwa kejatuhan pulung, pulung sendiri adalah cahaya yang sebesar buah kelapa. Selain itu sosok ratu adil harus memiliki kemampuan spiritual dan dunia yang imbang. Kumunculan ratu adil didahului oleh masa kacau atau goro-goro.

Fenomena Gerakan Arus Bawah dan Lahirnya Elit Politik Arus Bawah dari Partai Banteng Merah
             Fenomena ratu adil dan kepercayaan masyarakat terhadapnya merupakan gagasan uni yang banyak datang dari golongan grass root. Fenomena ini dimaknai sebagai babak akhir dari kakacauan dan menuju zaman emas atau masa depan yang cerah. Adanya fenomena ini memberi warna tersendiri bagi sejarah panjang bangsa Indonesia. Berawal dari kepercayaan terhadap sosok yang akan membawa perubahan ke arah yang lebih baik. Fenomena ini mampu menggerakan massa untuk mencapai tujuan tertentu. Misalnya saja Pemberontakan Petani Banten 1888 ( Kartodirdjo, 1984 ) yang merupakan peristiwa akbar yang dianggap menjadi tanda bahwa kolonialisme akan segara berakhir. Namun sayangnya pemberontakan itu ditumpas dengan rapi oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. 
         Latar belakang keterpurukan ekonomi karena penjajahan bukan merupakan alasan utama, dibalik semua itu pemberontakan petani Banten 1888 muncul karena bangkitnya ulama dan santri karena merasa sakit hati karena kebijakan sosial dan ekonomi di daerah mereka. Sebelumnya pada tahun 1886 juga terjadi pemberontakan petani di Ciomas, aksi ini di Pimpin oleh seorang ulama  Muhammad Idris ( Sudrajat, Jurnal ”cakrawalan Pendidikan” No.2/X/1991 : 93 ).
          Peristiwa-peritiwa atau gerakan sosial yang muncul cenderung berasal dari golongan bawah yang dipimpin elit atau ulama. Sebut saja Tjokroaminoto, Soekarno, Tan Malaka, K.H Hasim Asyari, K.H Ahmad Dahlan, dll. Merupakan tokoh-tokoh nasional yang berangkat dari pemikiran arus bawah. Kehadiran seorang elit sebagai motor penggerak yang mampu melahirkan aksi-aksi protes, telah menggoncangkan masyarakat dan pemerintah kolonial. Akan tetapi, sebagaimana halnya semua gerakan tradisional, aksi-aksi itu mempunyai bersifat 1okal, tidak terorganisir dan berumur singkat.
           Gerakan-gerakan sosial yang muncul yang dilatarbelakangi oleh kepercayaan terhadap ratu adil memiliki spirit yang tinggi. Perang Diponegoro atau Perang Jawa adalah salah satu perang akbar yang membuat pemerintah kolonial Hindia Belanda nyaris bangkrut. Dipimpin oleh seorang pangeran dengan mendapat dukungan yang luar biasa dari rakyat membuat perang ini hampir memutus rantai kolonialisme di Indonesia. Kekuatan yang sangat besar yang didasari kepercayaan terhadap ratu adil ini menurut Claude Levi Strauss ( Strauss, 1997 ) dapat memperkokoh solidaritas berbangsa. Hal tersebut tercermin dari Perang Jawa.
           Fenomena munculnya tokoh-tokoh elit arus bawah ini berlangsung hingga era Orde Baru. Pada era ini, Indonesia dianggap menjadi Negara anti demokratis walaupun secara kasat mata menganut sistem demokrasi. Peralihan kepemimpinan lewat kudeta merangkak ( Rossa, 2008 : 5 ) dari presiden Soekarno ke Soeharto membuat kekakuan dalam pemerintahan. Sifat kaku Soeharto yang berlatar belakang militer, membuat dinamika politik di Indonesia seakan mati suri. Asas tunggal dan fusi partai yang digulirkan oleh pemerintahannya membuat peta politik Indonesia saat itu gampang ditebak. Golkar yang merupakan mesin politik Soeharto adalah organisasi non partai besar yang memiliki suara terbesar di parlemen. Sedangkan partai lainnya seperti PPP ( gabungan partai islam ) dan PDIP ( gabungan partai nasionalis dan Kristen ) hanya memiliki suara minoritas di parlemen.
           Dinamika politik nasional yang dimonopoli oleh rezim orde baru kala itu selalu dengan mudah mengangkat soeharto sebagai presiden. Berbagai litertaur mengatakan tangan-tangan politik Soeharto jauh membungkam kekuatan politik baru. Banyak korban tangan-tangan the smiling general ini, seperti Jenderal Soemitro, ulama besar Gus Dur yang memiliki suara besar dikalangan santri dan abangan di Jawa Timur, juga  mampu dibungkam dengan kampanye politis.
          Dari kalangan arus bawah muncul sosok  Megawati Soekarno Putri yang pada tahun 1993-1998 dilantik sebagai ketua umum PDIP. Kemunculan Bu Mega ini merupakan kebetulan sejarah, dimana saat kongres PDIP yang di tunggani aktor dari pemerintah menginginkan sosok yang mudah di steer oleh pemerintah. Diantara nama yang muncul adalah Soerjadi, namun Ahmad subagyo menentang keputusan tersebut ( Bahar, 1996 ).
            Perlu diketahui bahwa Megawati bersama suami dan adiknya Guruh merupakan anggota DPR hasil Pemilu 1987. Merapatnya putra putri mendiang Soekarno mampu mendompleng PDIP di parlemen. Sampai pada tahun 1993 megawati dicalonkan sebagai ketua umum PDIP pada Kongres Luar Biasa di Surabaya.
       Dukungan simpatisan Megawati banyak berasal dari kalangan bawah atau grass root. Kepiawaian Megawati dalam berkampanye dan mendeklarasikan diri sebagai pemimpin dan PDIP sebagai partai nya Wong Ciliki membuat derasnya arus dukungan. Dukungan politis dari kelompok petisi 50 yang dianggap merupakan kelompok oposisi pemerintah membuat makin melambungnya nama Megawati. Selain itu latar belakang  kedekatannya dengan wong cilik karena masyarakat  tengah dalam masa kesusahan akibat krisisi ekonomi 1997.

Spirit Millenarianisme Megawati
         Millenarianisme merupakan bagian dari konsep perubahan sosial. Konsep millenarianisme ini memiliki kemiripan dengan konsep mesianisme sehingga masuk kedalam satu topologi perubahan sosial. Menurut Sartono Kartodirjo dalam ( Nurhasanah, Jurnal “Candra Sangakala”,Vol.1/No.1/2015 ) topologi perubahan sosial meliputi millenarianisme, mesianisme, nativisme dan gagasan perang suci.
        Millenarianisme, muncul karena adanya keinginan untuk mengubah kondisi yang kacau menjadi lebih baik. kehidupan masyarakat, yang ditandai dengan adanya bencana dan kemerosotan moral masyarakat yang akan menimbulkan keterpurukan. Hal ini tidak terlepas pula dari ramalan-ramalan yang tersebar didalam masyarakat.
    Pada masa kolonial hingga pasca kemerdekaan, hadirnya kepercayaan terhadap ratu adil berkembang menjadi sebuah fenomena gerakan sosial  yang diwujudkan dalam sebuah perlawanan terhadap penindasan kaum borjuis. Dimulai pada era VOC hingga Reformasi, persoalan mengenai datangnya ratu adil selalu di singkronisasikan dengan  keadaaan perekonomian dan stabilitas sosial. Perkembangan gerakan sosial ini cenderung bersifat konjungture.
        Dilihat dari kronologi nya sejarah mencatat bahwa kepercayaan terhadap ratu adil ini ada dan memuncak ketika pergantian tampuk kekuasaan. Di setiap masa selalu saja ada tokoh yang disangkut pautkan dengan fenomena ratu adil ini. Mulai dari Hayam Wuruk, , Raden fathah, Sultan Agung, pangerang Diponegoro, HOS Tjokroaminoto, Seokarno, sampai era Joko Widodo.
        Dalam fenomena kepercayaan terhadap ratu adil pada masyarakat Jawa,  jika dikaitkan dalam kehidupan modern ini merepresentasikan pemimpin yang merakyat. Pemimpin merakyat disini adalah pemimpin yang mengerti penderitaan rakyat ( wong cilik ) dan tahu cara bagaimana mengentaskan problem-problem yang terjadi di Masyarakat tersebut. Mungkin jika melihat dari kacamata perpolitikan ditanah air, sosok yang dianggap cocok mungkin di abad 21 ini adalah Megawati Soekarno putri. Selain ia memiliki charisma sebagai seorang yang pernah memimpin negeri ini, beliau juga merupakan anak dari mendiang Presiden Soekarno. 
          Reformasi yang terjadi pada tahun 1998, membuat jatuhnya rezim orde baru. Selama 32 rezim orde baru berkuasa, dinamika politik Indonesia secara kasat mata terlihat stabil. Namun, didalamnya terjadi berbagai macam intervensi yang dilakukan oleh pemrintah berkuasa unutk melanggengkan pemerintahannya.
         Namun,  semua berubah ketika memasuki tahun 1997, dimana perekonomian dan stabiltias nasional merosot inflasi melambung dan harga bahan pokok ikut meninggi. Dalam masa kacau akibat depresi ekonomi dari tahun 1997 sampai 1998 terjadi beberapa peristiwa dan munculnya sosok pemimpin yang menjanjikan. Peristiwa politis hingga berdarah mewarnai masa transisi dari orde baru ke masa reformasi. 
            Peristiwa 12 Mei 1998 di halaman Universitas Trisakti Jakarta, menjadi wajah kelam pertama pada awal reformasi. Mahasiswa menuntut pertanggung jawaban pemerintah dalam mengatasi masalah perekonomian. Bahkan mahasiswa menuntuk pengunduran diri presiden soeharto yang apda saat itu sudah berkuasa selama 32 tahun. Aksi damai tersebut ditutup kerusuhan yang mengakibatkan meninggalnya beberapa mahasiswa. Peristiwa selanutnya yang tak kalah berdarah adalah kerusuhan etnis dan peristiwa semanggi 1 dan 2.
          Pada masa kacau tersebut muncul beberapa sosok yang dianggap memiliki visi dan mempunyai kans sebagai pemimpin Indonesia selanjutnya. Amien Rais, Megawati, dan Gus Dur merupakan tokoh-tokoh yang memiliki basis masa yang besar, baik dari elit politik, negarawan, maupun masyarakat menengah kebawah. Sampai akhirnya pada tahun 1999, hasil pemilu mengukuhkan  pasangan Gus Dur dan Megawati sebagai pemegang mandat sebagai presiden dan wakil presiden periode 1999-2004. 

Sumber
Bahar, ahmad. 1996. Megawati Soekrano Poetri : Sebuah Biografi Politik 1993-1996.
Yogyakrta : PT Pena Cendikia
Clude Levi Strous. 1997. Mios, Dukun, dan Sihir. Yogyakarta : tanpa nama penerbit
Geertz , Cilffort. 1969. The Religiom of Java. New York : The Free Press
Kartodirjo, Sartono. 1984. Pemberontakan Petani 1888. Jakarta : Dunia Pustaka Jaya
Koentjaraningrat. 1994. Kebudayaan Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka
Lubis, Nina H. 2015. Metode Sejarah. Bandung : Penerbit Yayasan Masyarakat
Sejarah Indonesia
Muchlisin, Damarhuda. 1999. Ratu Adil dan Perjalanan Spiritual Megawati.
Denpasar : Penerbit Yayasan Purbakala
Ongkhokam. 1983. Rakyat dan Negara. Jakarta : Sinar Harapan
Rafick, Ishak. 2008.  Catatan Hitam Lima Presiden Indonesia. Jakarta : Cahaya Insan Suci
Roosa, Jhon. 2008. Dalih Pembunuhan Massal : Gerakan 30 September dan Kudeta
Soeharto. Jakarta : Hasta Mitra
Wibowo, Setyo. 2004. Ratu Adil Jawa dan Ratu Filsuf Platon. Borobudur Writer and
Cultural
Jurnal :         
Ajat Sudrajat. Mesianisme dalam Protes sosial. Cakrawala Pendidikan No.2/X/ 1991
Nurhasanah, Ana. 2015. Gerakan Messianistik Albert Dietz di Semarang tahun 1918.
Jurnal candrasangkala Vol1/No.1/November 2015
Website:                    
kbbi.web.id

0 komentar: