Indonesia
merupakan Negara dengan banyak suku dan budaya. Keanekaragaman yang ada
merupakan manifestasi dari kepercayaan terhadap adat, agama, dan tradisi.
Kepercayaan terhadap roh nenek moyang ( dinamisme ) dan benda-benda lain ( animisme/totemisme
) merupakan produk budaya yang telah ada sebelum masuknya Hindu-Budha, Islam,
maupun Kristen.
Local Genius merupakan
faktor penting muncul dan berkembangnya sebuah kebudayaan. Secara universal
kebudayaan memiliki tujuh unsur, yang
terdiri atas sistem religi, sisten organisasi kemasyarakatan, sistem
pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem ekonomi, dan sistem teknologi (
Koentjaraningrat, 1974 :12 ). Perilaku masyarakat lokal akan mempengaruhi
setiap produk budaya yang dihasilkan, contoh suku Jawa dan Minang memiliki
hukum adat pernikahan yang berbeda meskipun memiliki kepercayaan yang sama terhadap
agama islam.
Perilaku
budaya masyarakat di Indonesia umumnya fleksibel, akulturasi budaya asing
dengan lokal adalah salah satu contohnya. Dalam hal kepercayaan terjadi sinkretisasi antara budaya
asing dan lokal. Kepercayaan terhadap dewa-dewa pada masa kerajaan Hindu-Budha
yang diselaraskan dengan lokal genius yang ada merupakan wujud sinkretisasi antara
kepercayaan lokal dan asing.
Bagitu pula dengan fenomena kepercayaan terhadap ratu
adil, dimana fenomena ini tidak hanya ada dan berkembang di masyarakat
Indonesia terutama etnis Jawa. Michael Adas dalam ( Muchlisin, Damarhuda, 1999
: 132 ) pernah melakukan penelitian terhadap fenomena ratu adil dibeberapa
Negara seperti Selandia Baru, India,
Afrika, Jerman, dan Burma. Secara universal dalam beberapa komunitas agama
besar seperti islam dan kristen juga muncul kepercayaan terhadap ratu adil.
Komunitas islam percaya bahwa pada akhir zaman akan muncul Imam Mahdi sedangkan
pada komunitas kristen percaya pada kelahiran kembali Isa Al-Masih.
Fenomena ratu adil ini sering kali muncul ketika kondisi
buruk, seperti saat perang, depresi ekonomi, kerusuhan, dll. Buruknya kondisi
mengakibatkan masyarakat menderita dan membutuhkan sosok yang mengerti akan
penderitaan mereka. Keadaan masyarakat yang tidak kondusif sering kali
melahirkan berbagai fenomena. Dalam budaya Jawa fenomena kedatangan ratu adil
merupakan fenomena yang sering muncul ketika masa sulit atau kacau sedang
terjadi.
Munculnya sosok ketika masa kacau selalu diidentikan
dengan ratu adil. Dimasa pergerakan nasional muncul sosok yang dianggap sebagai
ratu adil, seperti H.O.S Tjokroaminoto, R.A Kartini, Tan Malaka, dll. Pada masa
pendudukan Jepang hingga masa Revolusi Kemerdekaan muncul nama Soekarno dan
Hatta, K.H Dewantara, Sri Sultan Hamengkubuwono IX, dll.
2 Munculnya
Fenomena Ratu Adil di Indonesia
Masyarakat
Indonesia memiliki berbagai kepercayaan yang
dianut turun temurun. Salah satu kepercayaan yang melekat dalam budaya
jawa adalah datangnya Eru Tjokro atau Ratu Adil. Secara etimologi Ratu dalam bahasa jawa
berasal dari kata rat yang berarti bumi. Secara harfiah dalam kamus bahasa
besar bahasa Indonesia ratu berarti raja wanita . Sementara itu kata adil dalam
kamus besar bahasa Indonesia berarti tidak memihak.
Namun dalam masyarakat jawa ratu bukan sekedar gelar atau
jabatan. Namun lebih umum lagi dipakai sebagai penyimbolan terhadap tuhan.
Terbukti dalam padanan kata Gusti Pangeran. Begitu pun di Bali, Dewa Ratu
dipakai untuk merepresentasikan ketuhanan. Fenomena kepercayaan terhadap ratu
adil ini merupakan warisan dari masa kerajaan Hindu-Budha, terutama yang
bersumber dari kitab Jangka Jayabaya.
Kepercayaan terhadap ratu adil ini tidak lahir dari
wangsit atau bagian dari budaya di masyarakat. Kepercayaan terhadap ratu adil sendiri tertulis dalam naskah kuno kitab Joyoboyo. Di dalam sejarah Raja-raja Jawa, seorang raja
Kediri bernama Jayabaya pernah meramalkan bahwa akan muncul seorang yang akan
menghilangkan penindasan dan membawa kesejahteraan bagi rakyat di Jawa.
Menurut Sartono Kartodirdjo fenomena kepercayaan terhadap
Ratu Adil direpresentasikan kedalam berbagai bentuk, yaitu gerakan juru selamat
( mesianism ), Ratu adil ( millenarianism ), Pribumi ( nativism ), Kenabian (
Prophetism ), dan penghidupan kembali atau menghidupkan kembali . Fenomena
kepercayaan terhadap ratu adil ini merupakan manifestasi dari local genius masyarakat yang percaya
akan adanya sosok yang mapu membawa perubahan baik bagi mereka.
Namun, fenomena munculya sosok ratu adil harus dibarengi
dengan legitimasi untuk mendapat kepercayaan dari masyarakat luas. Menurut
Sartono Kartodirjo dalam ( Wibowo, tanpa
tahun terbit : 8 ) legitimasi menurut budaya jawa adalah peristiwa kejatuhan
pulung, pulung sendiri adalah cahaya yang sebesar buah kelapa. Selain
itu sosok ratu adil harus memiliki kemampuan spiritual dan dunia yang imbang.
Kumunculan ratu adil didahului oleh masa kacau atau goro-goro.
Fenomena
Gerakan Arus Bawah dan Lahirnya Elit Politik Arus Bawah dari Partai Banteng
Merah
Fenomena ratu adil dan kepercayaan masyarakat terhadapnya
merupakan gagasan uni yang banyak datang dari golongan grass root. Fenomena ini dimaknai sebagai babak akhir dari
kakacauan dan menuju zaman emas atau masa depan yang cerah. Adanya fenomena ini
memberi warna tersendiri bagi sejarah panjang bangsa Indonesia. Berawal dari
kepercayaan terhadap sosok yang akan membawa perubahan ke arah yang lebih baik.
Fenomena ini mampu menggerakan massa untuk mencapai tujuan tertentu. Misalnya
saja Pemberontakan Petani Banten 1888 ( Kartodirdjo, 1984 ) yang merupakan
peristiwa akbar yang dianggap menjadi tanda bahwa kolonialisme akan segara
berakhir. Namun sayangnya pemberontakan itu ditumpas dengan rapi oleh
pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Latar belakang keterpurukan ekonomi karena penjajahan
bukan merupakan alasan utama, dibalik semua itu pemberontakan petani Banten
1888 muncul karena bangkitnya ulama dan santri karena merasa sakit hati karena
kebijakan sosial dan ekonomi di daerah mereka. Sebelumnya pada tahun 1886 juga
terjadi pemberontakan petani di Ciomas, aksi ini di Pimpin oleh seorang
ulama Muhammad Idris ( Sudrajat, Jurnal
”cakrawalan Pendidikan” No.2/X/1991 : 93 ).
Peristiwa-peritiwa
atau gerakan sosial yang muncul cenderung berasal dari golongan bawah yang
dipimpin elit atau ulama. Sebut saja Tjokroaminoto, Soekarno, Tan Malaka, K.H
Hasim Asyari, K.H Ahmad Dahlan, dll. Merupakan tokoh-tokoh nasional yang
berangkat dari pemikiran arus bawah. Kehadiran seorang elit sebagai motor
penggerak yang mampu melahirkan aksi-aksi protes, telah menggoncangkan masyarakat
dan pemerintah kolonial. Akan tetapi, sebagaimana halnya semua gerakan tradisional,
aksi-aksi itu mempunyai bersifat 1okal, tidak terorganisir dan berumur singkat.
Gerakan-gerakan
sosial yang muncul yang dilatarbelakangi oleh kepercayaan terhadap ratu adil
memiliki spirit yang tinggi. Perang Diponegoro atau Perang Jawa adalah salah
satu perang akbar yang membuat pemerintah kolonial Hindia Belanda nyaris
bangkrut. Dipimpin oleh seorang pangeran dengan mendapat dukungan yang luar
biasa dari rakyat membuat perang ini hampir memutus rantai kolonialisme di
Indonesia. Kekuatan yang sangat besar yang didasari kepercayaan terhadap ratu
adil ini menurut Claude Levi Strauss ( Strauss, 1997 ) dapat memperkokoh solidaritas
berbangsa. Hal tersebut tercermin dari Perang Jawa.
Fenomena
munculnya tokoh-tokoh elit arus bawah ini berlangsung hingga era Orde Baru. Pada era ini, Indonesia dianggap menjadi Negara anti demokratis walaupun secara
kasat mata menganut sistem demokrasi. Peralihan kepemimpinan lewat kudeta
merangkak ( Rossa, 2008 : 5 ) dari presiden Soekarno ke Soeharto membuat kekakuan
dalam pemerintahan. Sifat kaku Soeharto yang berlatar belakang militer, membuat
dinamika politik di Indonesia seakan mati suri. Asas tunggal dan fusi partai
yang digulirkan oleh pemerintahannya membuat peta politik Indonesia saat itu
gampang ditebak. Golkar yang merupakan mesin politik Soeharto adalah organisasi
non partai besar yang memiliki suara terbesar di parlemen. Sedangkan partai
lainnya seperti PPP ( gabungan partai islam ) dan PDIP ( gabungan partai
nasionalis dan Kristen ) hanya memiliki suara minoritas di parlemen.
Dinamika
politik nasional yang dimonopoli oleh rezim orde baru kala itu selalu dengan
mudah mengangkat soeharto sebagai presiden. Berbagai litertaur mengatakan
tangan-tangan politik Soeharto jauh membungkam kekuatan politik baru. Banyak
korban tangan-tangan the smiling general
ini, seperti Jenderal Soemitro, ulama besar Gus Dur yang memiliki suara besar
dikalangan santri dan abangan di Jawa Timur, juga mampu dibungkam dengan kampanye politis.
Dari
kalangan arus bawah muncul sosok Megawati
Soekarno Putri yang pada tahun 1993-1998 dilantik sebagai ketua umum PDIP.
Kemunculan Bu Mega ini merupakan kebetulan sejarah, dimana saat kongres PDIP
yang di tunggani aktor dari pemerintah menginginkan sosok yang mudah di steer oleh pemerintah. Diantara nama
yang muncul adalah Soerjadi, namun Ahmad subagyo menentang keputusan tersebut (
Bahar, 1996 ).
Perlu
diketahui bahwa Megawati bersama suami dan adiknya Guruh merupakan anggota DPR
hasil Pemilu 1987. Merapatnya putra putri mendiang Soekarno mampu mendompleng
PDIP di parlemen. Sampai pada tahun 1993 megawati dicalonkan sebagai ketua umum
PDIP pada Kongres Luar Biasa di Surabaya.
Dukungan
simpatisan Megawati banyak berasal dari kalangan bawah atau grass root. Kepiawaian Megawati dalam
berkampanye dan mendeklarasikan diri sebagai pemimpin dan PDIP sebagai partai
nya Wong Ciliki membuat derasnya arus dukungan. Dukungan politis dari kelompok
petisi 50 yang dianggap merupakan kelompok oposisi pemerintah membuat makin
melambungnya nama Megawati. Selain itu latar belakang kedekatannya dengan wong cilik karena
masyarakat tengah dalam masa kesusahan
akibat krisisi ekonomi 1997.
Spirit Millenarianisme Megawati
Millenarianisme
merupakan bagian dari konsep perubahan sosial. Konsep millenarianisme ini
memiliki kemiripan dengan konsep mesianisme sehingga masuk kedalam satu
topologi perubahan sosial. Menurut Sartono Kartodirjo dalam ( Nurhasanah,
Jurnal “Candra Sangakala”,Vol.1/No.1/2015 ) topologi perubahan sosial meliputi
millenarianisme, mesianisme, nativisme dan gagasan perang suci.
Millenarianisme,
muncul karena adanya keinginan untuk mengubah kondisi yang kacau menjadi lebih
baik. kehidupan masyarakat, yang ditandai dengan adanya bencana dan kemerosotan
moral masyarakat yang akan menimbulkan keterpurukan. Hal ini tidak terlepas
pula dari ramalan-ramalan yang tersebar didalam masyarakat.
Pada
masa kolonial hingga pasca kemerdekaan, hadirnya kepercayaan terhadap ratu adil
berkembang menjadi sebuah fenomena gerakan sosial yang diwujudkan dalam sebuah perlawanan
terhadap penindasan kaum borjuis. Dimulai pada era VOC hingga Reformasi,
persoalan mengenai datangnya ratu adil selalu di singkronisasikan dengan keadaaan perekonomian dan stabilitas sosial.
Perkembangan gerakan sosial ini cenderung bersifat konjungture.
Dilihat
dari kronologi nya sejarah mencatat bahwa kepercayaan terhadap ratu adil ini
ada dan memuncak ketika pergantian tampuk kekuasaan. Di setiap masa selalu saja
ada tokoh yang disangkut pautkan dengan fenomena ratu adil ini. Mulai dari
Hayam Wuruk, , Raden fathah, Sultan Agung, pangerang Diponegoro, HOS
Tjokroaminoto, Seokarno, sampai era Joko Widodo.
Dalam
fenomena kepercayaan terhadap ratu adil pada masyarakat Jawa, jika dikaitkan dalam kehidupan modern ini
merepresentasikan pemimpin yang merakyat. Pemimpin merakyat disini adalah
pemimpin yang mengerti penderitaan rakyat ( wong cilik ) dan tahu cara
bagaimana mengentaskan problem-problem yang terjadi di Masyarakat tersebut.
Mungkin jika melihat dari kacamata perpolitikan ditanah air, sosok yang
dianggap cocok mungkin di abad 21 ini adalah Megawati Soekarno putri. Selain ia
memiliki charisma sebagai seorang yang pernah memimpin negeri ini, beliau juga
merupakan anak dari mendiang Presiden Soekarno.
Reformasi
yang terjadi pada tahun 1998, membuat jatuhnya rezim orde baru. Selama 32 rezim
orde baru berkuasa, dinamika politik Indonesia secara kasat mata terlihat
stabil. Namun, didalamnya terjadi berbagai macam intervensi yang dilakukan oleh
pemrintah berkuasa unutk melanggengkan pemerintahannya.
Namun, semua berubah ketika memasuki tahun 1997,
dimana perekonomian dan stabiltias nasional merosot inflasi melambung dan harga
bahan pokok ikut meninggi. Dalam masa kacau akibat depresi ekonomi dari tahun
1997 sampai 1998 terjadi beberapa peristiwa dan munculnya sosok pemimpin yang
menjanjikan. Peristiwa politis hingga berdarah mewarnai masa transisi dari orde
baru ke masa reformasi.
Peristiwa
12 Mei 1998 di halaman Universitas Trisakti Jakarta, menjadi wajah kelam
pertama pada awal reformasi. Mahasiswa menuntut pertanggung jawaban pemerintah
dalam mengatasi masalah perekonomian. Bahkan mahasiswa menuntuk pengunduran
diri presiden soeharto yang apda saat itu sudah berkuasa selama 32 tahun. Aksi
damai tersebut ditutup kerusuhan yang mengakibatkan meninggalnya beberapa
mahasiswa. Peristiwa selanutnya yang tak kalah berdarah adalah kerusuhan etnis
dan peristiwa semanggi 1 dan 2.
Pada
masa kacau tersebut muncul beberapa sosok yang dianggap memiliki visi dan
mempunyai kans sebagai pemimpin Indonesia selanjutnya. Amien Rais, Megawati,
dan Gus Dur merupakan tokoh-tokoh yang memiliki basis masa yang besar, baik
dari elit politik, negarawan, maupun masyarakat menengah kebawah. Sampai
akhirnya pada tahun 1999, hasil pemilu mengukuhkan pasangan Gus Dur dan Megawati sebagai pemegang
mandat sebagai presiden dan wakil presiden periode 1999-2004.
Sumber
Bahar, ahmad.
1996. Megawati Soekrano Poetri : Sebuah
Biografi Politik 1993-1996.
Yogyakrta
: PT Pena Cendikia
Clude
Levi Strous. 1997. Mios, Dukun, dan Sihir. Yogyakarta :
tanpa nama penerbit
Geertz
, Cilffort. 1969. The Religiom of Java.
New York : The Free Press
Kartodirjo,
Sartono. 1984. Pemberontakan Petani 1888.
Jakarta : Dunia Pustaka Jaya
Koentjaraningrat.
1994. Kebudayaan Indonesia. Jakarta :
Balai Pustaka
Lubis, Nina H.
2015. Metode Sejarah. Bandung :
Penerbit Yayasan Masyarakat
Sejarah
Indonesia
Muchlisin,
Damarhuda. 1999. Ratu Adil dan Perjalanan
Spiritual Megawati.
Denpasar : Penerbit Yayasan
Purbakala
Ongkhokam. 1983. Rakyat
dan Negara. Jakarta : Sinar Harapan
Rafick,
Ishak. 2008. Catatan Hitam Lima Presiden Indonesia. Jakarta : Cahaya Insan Suci
Roosa, Jhon. 2008. Dalih Pembunuhan
Massal : Gerakan 30 September dan Kudeta
Soeharto. Jakarta :
Hasta Mitra
Wibowo, Setyo.
2004. Ratu Adil Jawa dan Ratu Filsuf
Platon. Borobudur Writer and
Cultural
Jurnal :
Ajat Sudrajat. Mesianisme dalam Protes sosial.
Cakrawala Pendidikan No.2/X/ 1991
Nurhasanah, Ana.
2015. Gerakan Messianistik Albert Dietz di Semarang tahun 1918.
Jurnal
candrasangkala Vol1/No.1/November 2015
Website:
kbbi.web.id
0 komentar:
Posting Komentar