Selasa, 02 Mei 2017

Review Jurnal “Gerakan Messianistik Albert Detz Di Semarang Tahun 1918”

Hasil gambar untuk mesias abad 20
Sebuah eskalasi gerakan kontra kolonialisme bukan hanya terjadi dalam dimensi politik. Namun malah banyak terjadi di ranah social kemasyarakatan. Dalam tipologi sartono kartodirjo yang meliupti Millenarianisme, Mesianisme, Nativisme, dan Gerakan Perang Suci, jurnal ini masuk kedalam Millenarianisme dan Messianisme. Millenarianisme sendiri adalah suatu paham perubahan yang berlandaskan pada keadaan yang tidak sesuai dengan kehendak sehingga memunculkan gagasan untuk menuju perubahan yang lebih baik. Sedangakan Mesianisme adalah paham menganai kedatangan Ratu Adil yang digadang-gadang akan muncul guna membawa kebenaran, kesejahteraan, dan mengahapus pinindasan.
Menurut Neil J Smelser dalam teori collective behavior setiap gerakan memiliki factor pencetus ( Precipitating Factor ) pasti memiliki aktor pendorong dalam suatu gerakan social. Baik itu kaum elite atau bisa muncul dari kalangan biasa.
Dalam Jurnal ini muncul nama albert Dietz atau Goesti Muhammad yang merupakan anak tunggal  dari Ratu Kedaton Permaisuri Sri Sultan Hamengkubuwono ke – V. Walaupun ia adalah seorang keturunan raja namun kehidupannya sangatlah sulit. Sampai pada suatu saat Albert dan Ibundanya harus terusir dari Keraton dan dibundang ke Menado. Pengusiran yang terjadi akibat dari persoalan politik internal keluarga yang dikhawatirkan akan memecah belah keraton.

Di tempat pengasingannyad I Menado ia diangkat anak oleh seorang perwira kesehatan bernama Mayor Dietz. Albert tumbuh menjadi pribadi yang pintar, ia disekolahkan sampai ELS ( Europeesch Lagere School ). ELS yang kita ketahui adalah sekolah yang diperuntukan untuk anak-anak eropa dan timur jauh yang dirasa layak  untuk masuk yang biasanya diperuntukan untuk kalangan elit saja.
Albert yang sadar akan haknya yang terampas oleh politik yang ada di keratin kemudian bertekad untuk mengambil kembali haknya. Kemudian ia datang ke Dukuh Kenangan Desa Bergaskidul, Onderdistrik Lemahbang, Distrik Ungaran, Afdeeling Salatiga. Ia oleh masyarakat setempat dikenal sebgai dukun sakti dan juga dianggap sebagai eru tjokro atau ratu adil. Diamana ia mampu menyembuhkan berbagai macam penyakit dan mempeunyai pengetahuan tentang ilmu-ilmu kebatinan yang ia pelajari dari ibunya.
Tersohornya Albert di Semarang ini membuat masyarakat banyak yang datang tidak sekedar untuk berobat namun sebagai murid untuk belajar ilmu-ilmu mistis dan kebatinan. Murid-murid albert kebanyakan adalah elit-elit pribumi dan juga para petani rendah. Dari murid-muridnya Albert memiliki pengikut yang banyak. Murid-murid Albert memilikki kepercayaan terhadap aji-ajian dan jimat yang diberikan oleh Albert. Hal ini mulai mengusik pemerintahan colonial di Semarang.
Pemerintah Kolonial menganggap bahwa apa yang dilakukan oleh Albert ada sesat dan juga berbahaya. Kemudian terbit larangan untuk albert dan para pengikutnya untuk melakukan gerakan.
Dalam hal ini yang patutu diperhatikan dalah pola gerakan dari albert Dietz yang merupakan gerakan social non fisik yang fokus kepada mentalitas dan spiritual. Pendidikan barat yang diperolehnya tidak menggugurkan konsep non rasional dalam memandang konsep spiritual. Albert kemudian memanfaatkan keluguan masayrakat yang masih percaya terhadap ramalan-ramalan serta ilmu kebatinan. Disisi lain keadan pada masa itu juga memaksa masyarakat terutma golongan petani rendahan yang hidup dalam kesengsaraan percaya terhadap akan ratu adil dalam diri Albert. Terlepas dari itu albert juga melegitimasi dirinya sebagai putra mahkota yang merupakan reinkarnasi dari pangeran suryangalaga.
Albert memanfaatkan semua hal yang diketahuinya untuk mempolarisasi kekuatan  agar dirinya dianggap sebagai raja bagi orang-orang jawa.




Sumber Pustaka: Jurnal : Ana Nurhasanah, S.Pd., M.Pd. Tanpa Tahun. Gerakan Mesianistik Albert Dietz Di Semarang Tahun 1918.  

0 komentar: