Berbicara pendidikan, tepat pada hari ini 2 Mei seorang yang kita kenal sebagai Bapak Pendidikan Indonesia lahir . 128 tahun lalu, seorang anak Ningrat yang dewasanya memberi pengaruh luar biasa pada dunia pendidikan di Indonesia. Namanya yang membumi dan mengangkasa selalu teringat sepanjang masa.
Saya teringat ketika masa-masa awal sekolah di Sekolah Dasar. Setiap hari senin saya selalu diingatkan untuk mengingat besarnya nama seorang Ki Hajar Dewantara. Siapakah dia ?, hingga namanya terngiang seantero negeri terutama dalam bidang Pendidikan.
Nama kecilnya adalah Raden Mas Soerjadi Soerjaningrat, lahir di Pakualaman tanggal 2 Mei 1889. Dia merupakan putra dari GPH Soerjaningrat dan cucu dari Pakualam III. Menamatkan sekolah dasar di ELS ( Europea Lagere School ). Sempat mencicipi sekolah di STOVIA ( School tot Opleding van Indische Artsen ) atau Sekolah Dokter Pribumi. Namun, tidak sempat lulus karena mengalami sakit.
Pasca keluar dari STOVIA, Soewardi banyak menghabiskan waktu dengan belajar membaca dan menulis. Karyanya banyak dimuat bahkan dia menjadi penulis dan wartawan dibeberapa media massa diantaranya Sediotomo, Midden Java, De Expres, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara.
Tulisan-tulisannya terutama dalam harian De Expres banyak mengkritik kebijakan yang dijalankan oleh Pemerintahan Kolonial. Saya masih teringat dengan artikel besar yang ia tulis yang kira-kira judulnya "als ik een nerlanders was" atau dalam bahasa Indonesia "andai aku seorang Belanda".
Kalau saya sorang Belanda, sekarang pada saat ini, saya akan memprotes tentang maksud perayaan itu. Saya akan menulis dalam segala surat kabar bahwa itu salah, saya akan menasihati sesama kaum penjajah, bahwa berbahaya di waktu sekarang mengadakan pesta kemerdekaan, saya akan mendesak kepada segala orang Belanda supaya jangan melukai perasaan bangsa Hindia Belanda yang mulai bangun dan sadar itu agar supaya ia jangan sampai naik darah. Sungguh, saya akan memprotes dengan segala tenaga yang ada pada saya.
Tetapi………saya ini bukan orang Belanda, saya cuma putra negeri tropika ini yang berkulit warna sawo, seorang bumiputra jajahan Belanda ini, dan karena itu saya tidakan akan memprotes.
Karena, kalau saya memprotes, orang akan marah pada saya. Saya akan dipersalahkan menghasut bangsa Belanda, yang memerintah disini di negeri saya dan menjauhkan mereka itu dari saya. Dan itu saya tidak mau, itu tidak boleh saya perbuat. Apabila saya orang Belanda, bukankah saya tidak mau menghina bangsa bumiputra?
Juga orang akan menuduh saya kurang ajar terhadap Sri Ratu, raja kita yang dihormati, dan itu tidak dapat diampuni, sebab saya rakyatnya yang selalu harus setia kepada beliau.
Dan karena itu saya tidak memprotes!
Sebaliknya, saya akan ikut merayakan.
Jika melihat semangat zaman atau jiwa zaman yang menggelora dalam kutipan dari tulisan Soewardi tersebut. Memang tepat apa yang dicurahkan oleh Soewardi, kiranya sudah memang saatnya di zaman bergerak suara-suara rakyat pribumi digaungkan menantang hegemoni pemeirntah kolonial. Namun, disisi lain operasi untuk mengatasi orang-orang pribumi ini juga tidak sedikit dilakukan. Banyak cara yang dilakukan oleh pemerintah Kolonial dari mulai pemenjaraan hingga pembuangan ke Digul Atas.
Dalam pengasingan di Belanda, Soewardi aktif dalam organisasi para pelajar asal Indonesia, Perhimpunan Indonesia. Di sinilah ia kemudian merintis cita-citanya memajukan kaum pribumi dengan belajar ilmu pendidikan hingga memperoleh Europeesche Akta, suatu ijazah pendidikan yang bergengsi yang kelak menjadi pijakan dalam mendirikan lembaga pendidikan yang didirikannya. Dalam studinya ini Soewardi terpikat pada ide-ide sejumlah tokoh pendidikan Barat, seperti Montessori,
Soewardi kembali ke Indonesia pada bulan September 1919. Segera kemudian ia bergabung dalam sekolah binaan saudaranya. Pengalaman mengajar ini kemudian digunakannya untuk mengembangkan konsep mengajar bagi sekolah yang ia dirikan pada tanggal 3 Juli 1922: Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa atau Perguruan Nasional Tamansiswa. Saat ia genap berusia 40 tahun menurut hitungan penanggalan Jawa, ia mengganti namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara. Ia tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun jiwa.
Semboyan dalam sistem pendidikan yang dipakainya kini sangat dikenal di kalangan pendidikan Indonesia. Secara utuh, semboyan itu dalam bahasa Jawa berbunyi ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. ("di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat, di belakang memberi dorongan"). Semboyan ini masih tetap dipakai dalam dunia pendidikan rakyat Indonesia, terlebih di sekolah-sekolah Perguruan Tamansiswa.
Konsep yang dituangkan oleh Ki Hajar Dewantara ini hingga sekarang menjadi konsep pokok pendidikan di Indonesia. Bertepatan dengan hari Pendidikan Nasional tanggal 2 Mei 2017. Segenap insan cendikia di seluruh Indonesia turut memperingati perjuangan dari salah satu sosok pelopor Pendidikan Indonesia tersebut. Banyak hal yang dilakukan, sebagai bentuk perayaan di beberapa tempat diadakan berbagai macam perlombaan. Ketika saya SD saya selalu ikut lomba cerdas cermat baik tingkat sekolah hingga tingkat kabupaten. Ketika beranjak ke sekolah menengah pertama, ada perlombaan O2SN yang beberapanya saya ikuti hingga kualifikasi tingkat Kabupaten. Namun sejak menginjak usia ditengah-tengah masa transisi dari remaja ke remaja tanggung banyak hal yang berubah di sekitar saya yang merubah pandangan saya mengenai dunia pendidikan.
Pada awalnya dalam benak saya pendidikan yang saya tempuh hingga lulus Sekolah Menengah Atas merupakan wujud dari perjuangan yang diagungkan. Layaknya Soewardi yang memiliki rasa pengetahuan berlebih, saya membwa diri diatas teman sejawat yang masih asik dengan cinta monyetnya. Pikiran dan khyalan selalu beriirngan dalam menentukan sikap. Rasa skeptis menebarkan semacam candu yang membawa diriku untuk lebih dalam lagi menyelami.
Tanpa menutup mata ini terhadap dunia pendidikan sekarang, kelabu dalam bidang ini sungguh nyata. Tidak perlu jauh menatap ke ujung timur Indonesia, hanya beberapa puluh kilo meter saja kita akan menemukan potret kelabu Pendidikan Indonesia. Dalam sambutannya Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhajir Effendi menyatakan "Percepat Pendidikan yang Merata dan Berkualitas". Secara kasat mata secara terminologis Kata Merata dan Berkualitas ini bermaksud meratakan dan menignkatkan kualitas pendidikan Indoensia.
Namun, lagi-lagi mata ini tak mampu untuk menoleh manakala dunia yang sekarang saya pijak ini. Negara yang terdiri dari kurang lebih 265 Juta Jiwa penduduknya ini tidak smapai setengahnya memiliki titel dari perguruan tinggi. Jika melihat dari konsep pendidikan yang di ajukan oleh Ki hajar Dewantara, Panca Dharma, Kon-3, dan Tri-Pusat Pendidikan, tidak satupun lengkap ada di Indonesia.
Ya mungkin kini generasi kita angkatan pasca reformasi yang masih memiliki semangat dan idealisme untuk membawa perubahan dalam dunia pendidikan. Cita-cita pendidikan berkeadilan harus segera diwujudkan. Segala peluang untuk menggapai itu harus diperjuangkan. Dalam pemikiran dan harapan juga sejalan dalam tindakan agar percepatan serta pemerataan dan peningkatan kualitas pendidikan bisa diwujudkan.
0 komentar:
Posting Komentar