Senin, 24 April 2017

Si “Tinta Manis” : Pertemuan Yang Tak Pernah Biasa ( Bagian Kedua )

Gambar terkait
Google
Cerita Dibalik Segelas Es Krim Pot
Selama berlibur dirumah selalu kupikirkan cara dan kesemptana untuk bertemu dengan si “Tinta Manis”. Namun tak jua muncul ide yang tepat dan tinggi keberhasilannya. Getar notifikasi ponsel mengaburkan pikiran ku. Ternyata kawan satu kelas di SMA dulu Mey dan Nisa ingin bertemu. Akhirnya aku putuskan bahwa besok bertemu di tempat ek krim pot saja. Boleh dibilang pada saat itu di tempatku sedang trend nya anak muda menikmati es krim pot bersama rekan atau pacarnya.  

Sayang terlalu lama di bumi Tahu, menjadikan aku tak ingat jalan-jalan yang ada disini. Begitu pula dengan tempat yang ingin di tuju, Mey dan Nisa pun tak tahu dimana rimbanya tempat tersebut. Mbah google pun tak tahu dimana tempat tersebut, membuat sedikit frustasi.
Aku teringat dengan si “Tinta Manis” yang rumahnya dekat dengan tempat tujuan ku. “Kenapa tak kuajak saja sekalian” pikir ku. Mey dan Nisa pun setuju mereka juga ingin bertemu si “Tinta Manis”.
Okay dan aku pun segera menuju rumah si “Tinta Manis”, akh sekali lagi kekikukan datang menghampiri membuat keledai merajai isi pikiran. Lupa aku jalan menuju rumahnya sahut ku kepada dua kawan ku itu. Mey dan Nisa tak tahu jua dimana rumahnya si “Tinta Manis. Aigo, “kenapa tak kau hubungi saja dahulu” saran Mey, “aku tak punya kontaknya mey” Jawabku. “Akh bisa saja bukannya sering berhubungan ?” Tanya nya seraya tersenyum mengejek. Terpojok dengan pertanyaan tadi aku tak bisa mengelak. “Iya aku coba” singkatku.

 Langsung ku hubungi si “Tinta Manis”, namun tak di jawab. Ku cpba berulang kali sama saja tak ada jawaban. Lelah , aku coba tanyakan kepada teman ku yang tahu rumah nya si “Tinta Manis”. Sudah kudapatkan namun aku tak tahu, ku ingat-ingat lagi, dulu aku pernah mengantarnya pulang. Dan akhirnya sampai di depan rumahnya. Namun aku tak ingat persis yang mana rumahnya. Aku pun menyakan kepada seorang wanita paruh baya yang sedang mengobrol di luar rumah yang ternyata beliau adalah mama nya. Agak terkejut dalam batin ku, beliau lantas mengantarkan ke rumah dan memanggil si “Tinta Manis”.
Lama kami bertamu, ya walupun tamu yang tak diundang. Banyak hal yang kami bgi bersama di senja itu. Dari mulai cerita ketika masa-masa SMA dahulu hingga pengalaman-pengalaman masa setelahnya. Bagaimana dengan diriku ?, seperti biasanya kekikukan yang menyelimuti. Tapi sekarang sudah lebih santai Karena taka ada yang mengejek lagi.
Waktu terus berlalu hingga sampai di penghujung adzan maghrib. Aku katakan saja kepadaMey dan Nisa seharusnya kita sudahi pertemuan hari ini  malam mulai menyapa tandasku. Begitupun ajak Nisa yang sudah terlihat ngantuk.  Dan hari itupun ditutup dengan perpisahan kami dengan si “Tinta Manis”.
Hasil gambar untuk cinta
Google
“Pertemuan yang sederhana adalah ketika senyum ku dan senyum mu, begitu mandiri saat-saat itu.”

 Malam Yang Bercerita

Satu minggu sudah aku melewatkan masa liburku di rumah. Tak ada yang tak dikenang dalam memori. Baik kejadian-kejadian sendiri ataupun memori kolektif pertemuan diriku dengan si “Tinta Manis”. Senin aku kembali ke Jatinangor, tempat dimana diri ditempa untuk menanggung masa depan.
Dalam perjalanan ke Jatinangor pikiran ini tak mau berhenti untuk berkisah. Diari kecilku tak cukup untuk menampung semuanya.  Hingga aku tambahkan dengan selembar A4 pun tetap tak mampu menampung semuanya. Sepanjang perjalanan aku memikirkan banyak hal, samapai otak ku serasa sedang di ujung hidupnya.
Tak hanya memikirkan persoalan di kampus tercinta, akan tetapi lebih banyak tentang persoalan yang kutemui di perjalanan dan juga perihal yang sedang actual. Di saat bus yang aku tumpangi melintasi pegunungan kapur di Padalarang, sermepak mata ini tertuju kepada tambang pasir yang mengotori mata ini. Kepulan asap mesin membuat pemandangan hijau royo-royo bias.
Aku ingin marah dalam pikiranku “kenapa manusia seenaknya mengeksploitasi alam, seenaknya menguasai alam atas nama sendiri. Padahal alam tercipta dan terkembang untuk seluruh umat manusia”. Hanya bisa geram saja tanpa bisa berbuat apa-apa. Kepentingan didalam penguasaan alam kiranya menjadi hal yang biasa di belahan bumi ini. Mungkin tak pernah ada permisi kepada yang memiliki. 
Empat jam perjalanan telah berlalu, bus itu membawaku ketempat tinggal ku, Pondok Angsana. Namun tak bisa di elakkan aku harus ke kampus mengurusi berkas pendaftaranku di Unit Kegiatan Mahasiswa ( UKM ). Kebetulan UKM yang aku ikuti sedang melaksanakan rekrutmen, sebelumnya sudah kupersiapakan berkas pendaftaran jauh-jauh hari.
Baru senja aku kembali ke kasur empuk ku, kelelahan merajai tubuh ini. Tapi masih ada aktivitas yang harus aku lakukan. Design untuk acara belum selesai aku buat, padahal deadline waktu penerbitannya sebentar lagi. “Sudah lah, ku selesaikan saja semua malam ini”.
Selepas isya ku nyalakan laptop dan mulai mengerjakan apa yang harus ku selesaikan. Satu demi satu design ku selesaikan. Tak sulit, namun perlu ketelitian dan waktu untuk menyelesaikannya.  Hingga dipenghujung malam aku mampu menyelesaikan itu semua.


Pagi Berganti Bercerita
Rasa rindu terhadap ia membuat pagiku terasa hangat luar biasa. Gejolak darah mendesir hingga ke otak. Barangkali ini yang orang namakan rindu, rindu yang tak tersalurkan membuat hati menggebu tak karuan. Singkat saja, jaringan telpon adalah media ampuh yang menjadi tempat manis tanpa pertemuan. Sesungguhnya kadang sesak jiwa ini manakala tak mampu memandang cantik wajahnya.
Jarak yang menghalangi berbuah rindu yang sangat berarti. Hal ini tak hanya diriku yang merasakannya, diujung telpon sana dia merasakan hal yang sama. Rindu yang menyiksa bukan ?, hatiku selalu berujar demikian. Namun, aku sadari bahwa semua ini bukanlah kenyataan tak berarti. Ini adalah bagian dari proses yang akan bermuara jika keduanya menghendaki.
Akh… biarkanlah pagi ini mentari bercerita kepada awannya, biarkan awan menyebarkan gossip aku dengan dia yang kucinta. Tak peduli sampai hingga kepada siapa, biarkan angin membawanya dan ku harap sampai ketelinga dia Si Tinta Manis. Tak ubahnya candu, kali ini dia membuat otot dan syarafku seperti ingin copot. Kuasa diriku mengendalikan lara ini, namun rindu tak bisa membodohi hati.

Siang yang memanasi
Di tengah pergulatan hari, dimana perut dan jiwa perlu diisi. Aku beranjak menikmati sesuap nasi dan secangkir kopi. Bagiku seorang calon sarjana hal ini merupakan nikmat duniawi. Selepas santapan habis, ku biarkan pikiran melayang skeptis. Mataku memejam sedangkan otakku bermain liar membayangkan saat rindu ini sampai pada muaranya.
Hawa panas hari ini membakar kulit, hingga makin busuk warnanya. Beribu tembang yang aku dengarkan melalui tape, tak mengikiskan tembangku dengannya. Hari seakan memanasi perasaan yang aku rasakan. Betapa jahatnya, seakan diriku merupakan musuh alam pada saat ini.
Hasil gambar untuk cinta
Google
Jiwaku terlempar disudut ruangan putih yang hanya sedikit dimasuki cahaya mentari. Aku coba memainkan perasaan agar sesuai dengan kenyataan. Tidak muncul sebagai drama dan seperti fatamorgana. Diamku dalam piker dan heningku.
Akhir hari yang melapangkan nya
Mala mini perasaan yang sejak tempo hari aku alami tereduksi. Tidak sepenuhnya namun sudah cukup untuk ku menghela nafas panjang. Hari ini aku mulai sadar kenyataan yang memang harus dihadapi. Jarak yang menjulang ini memberikan protein untuk selalu percaya. Percaya kepada dia dan harinya, percaya kepada ujung dari smeua rindu yang menggelora. Hingga aku tahu kemana ini semua bermuara.
Malam yang dingin menyejukan pikiran, untuk kembali melukiskan tinta diatas kertas putih. Pena menari-nari liar hingga mampu menjelaskan tabir kerinduan. Bintang yang bernostalgia dengan rembulan seolah menyaksikan suatu kegelisahan meredup. Tereduksi menjadi benih positif yang berupaya lebih baik lagi.
Taka ada dendam kepada hari lalu, kini aku mulai cari muara nya. Menyusuri tepi demi tepi anak sungai dari hulu ke hilir. Sampan aku dayuh, dermaga demi dermaga ku singgahi hanya demi menyaksikan muara kita Tinta Manis. Sudah berapa purnama aku ingin mencari, hingga kadang lelah membebani selama perjalanan.

Sampai aku piker ini adalah akhir, akhir dari segala usaha dan do’a. Namun, jiwa yang merdang mendengarnya menampar pipi ini. Sampai darah tercucur keluar dari gigi. Harapan akan mura itu masih aku genggam dan akan selalu ku rindui kemana pun kaki ini berpijak.



0 komentar: