Entah ini hanya kebetulan atau sudah menjadi takdir, pertemuan kita ku anggap tak pernah biasa. Bagaimana tidak sebagus-bagusnya rencana pada akhirnya berakkhir jauh dari khayalan. Tidak pernah aku duga dan tidak seidikitpun aku cium aroma tak sedap kepada jalannya rencana.
Baik
pertama kali kita bertemu di Ibu Kota Provinsi sana ataupun di tempat rencana
pertemuan lain kita. Hal-hal yang berbau mistis imagis sepertinya dalang dibalik
semuanya. Sepuas hati ingin tertawa lepas jika ku bongkar satu persatu cerita
didalamnya.
Baiklah,
aku mulai dari awal perjumpaan kita selepas tak saling sua dalam banyak
purnama.
Di
saat dimana aku mengorbankan waktu dan pikiran untuk melanjutkan tuntutan
hasrat keingintahuna dalam belajar, aku merasa tak eprnah lepas dari persoalan
asmara. Padahal aku sudah tak lagi mersakannya sejak putusa dari dia yang sudah
bahagia disana.
Dalam
benakku , sudah cukuplah kurasakan derita dari dewi asmara. Namun sayangnya tak
bias ku elak kan diri dari nya yang senantiasa mengejar dan memburu ku dengan
panahnya.
Lembaran
tak menyenangkan persoalan dengan “cinta” adalah yang sudah tak lagi ku acuhkan
akhir2 ini. Di ujung purnama oktober, setiap saat kala pesannya datang aku
tunjukan ke gelisahanku kepada malam. Ku dekatkan diri kepada angina yang
berhembus kala itu, menyejukan jiwa hingga rasa otak kembali berjalan sesuai
irama.
Sebelum
aku lanjutkan, aku perkenalkan dia dalam cerita ini. Aku panggil ia “tinta
manis”, seorang dara kelahiran awal bulan pahlawan dimana Mallaby tewas oleh
semangat juang muda arek-arek Surabaya dengan tahun dimana awal kriris moneter
menggerogoti sendi-sendi Ibu Pertiwi. Ia lahir dengan bawaan manis, tersirat
dalam senyumnya yang selalu membuat skeptis hati ini. Tumbuh menjadi seorang
dara yang menyihir beberapa kawan ku hingga mereka terjerembab kedalam pusaran
asmaranya.
Pendahuluan
yang biasa
Awal
perkenalanku di tahun pertama karena tak sengaja, mungkin aku akan berterima
kasih kepada kawan-kawan ku yg pernah
menjadi dua dengannya. Ketika peryama kali kun kena, rasa-rasanya seperti biasa
saja, sama seperti ku kenal dara lain yang ada di sekolah kala itu.
Mulai
menanjak ke tingkat dua aku sudah tak sendiri, sudah ada perasaan yang masuk
dalam hari-hari ku. Dia itu tak lain adalah “dia” yang telah bahagia disana.
Hari demi hari waktu selalu iri dengan perasaan ku kepada “dia”.
Sementara
si “tinta manis” tetap bersama dalam satu atap yang sama dalam organisasi
siswa. Aku menjadi wakil ketua kala itu. Tak banyak yang ku bicarakan dulu
kepadanya hanya obrolan ikhwal seperti kawan sedia kalanya. Canda tawa dan
cerita dunia remaja acap kali selalu menjadi bahan obrolam menyenangkan.
Hingga
tak terasa tingkat tiga aku duduk, dan masih seperti sedia kalanya walaupun
saat itu obrolan kami menyempit ke arah masa depan pasca tingkat tiga. Sampai
saat itu aku masih dengan “dia” dan harapan selalu ada padanya. Selepas waktu
berjalan sampai kepada suatu hari dimana perpisahan dengan kawan tercinta, aku
selalu bertnaya kemana arah bentuk pertemanan kami semua. Dimana semuanya
berpisah ke berbagai hal yang masing-masing tujukan.
Aku
sendiri melanjutkan sekolah ke Jatinangor, tempat yang awam ku ketahui tepatnya
di kaki gunung manglayang. Cuaca yang panas namun sejuk udaranya ku amini sebagai
ganti dari keawanaman ku. Dari masa kepindahanku kesini awal dari pecahnya arah
harapan kepada “dia”.
Seberapapun
kuatnya dirimu meyakinkan kepada diriku akan betapa cerahnya “kita” nanti, aku
tak jua merasa tenang dan selalu gelisah. Waktu pun berganti, purnama demi
purnama datang silih berganti menyambut resesnya peresaan antara aku dan “dia”.
Sementara itu hubungan ku dengan si “tinta manis” terhenti di ujung perpisahan
lalu. Ia tengah belajar ilmu pertanian di Ibu Kota Provinsi sana sedangkan aku
berkutat dengan dinamika waktu dan arsip Belanda.
Pada
akhirnya kertas yang ku tulis bersama perasaan ku kepada “dia” semakin lama
semakin tipis dan mulai pudar isinya. Aku sudah tak berhubungan via apapun
selama purnama masih berganti. Tersirat dalam benakku untuk tak lagi memikirkan
apa yang tuhan beri cinta kepada manusia dan merawatnya hingga waktunya tiba.
Aku mulai pisahkan “dia” dengan dunia ku, dan mulai bersikap selayaknya kawan
kepada kawan lainnya.
“Malaikat
tak pernah menyampaikan pesan cinta manusia kepada manusia lainnya, mereka
hanya berserah diri dan taat kepada titah tuannya, yaitu Tuhan semesta alam,
mendekatlah kepada tuannya agar pesan mu tersampaikan dan menjadi sebuah
realitas di kemudian hari” –Anbu
Satu
Purnama dengan si “Tinta Manis”
Penat
ku piker yang pernah jalani kisah masa lalu dalam kebodohan kecil remaja. Tak
pernah sepeser pun ku ungkit perasaan ku terhadap yang lainnya termasuk kepada si “Tinta
Manis”.
Akh
rasanya ingin sekali ku lebur semua masa lalu dengan butiran timah panas.
Selalu terbayang akan masa itu kupikir akan membuat hari demi hari menjadi belenggu kebebasan ku. Hingga pada
akhir nya si “Tinta Manis” muncul di tengah gelapnya siang.
Di
awal oktober semua telah menjadi bias, termasuk masa lalu ku. Kini yang ada
kesibukan diantara kegiatan mahasiswa dan pelajaran ku mengenai alam serta
seluk beluknya ( termasuk manusia Nya ). Tenggelam dalam dinamika di kampus ku
, selalu menjadi teman di satu termin ganjil ku disini. Mulai dari kagiatan
jurusan hingga di student center.
Diwaktu
senggang selalu ku ingat kawan-kawan ku di masa sekolahku dulu. Termasuk si
“tinta manis” yang selalu hadri dengan senyumnya yang khas membuat skeptis. Namun
sayang aku belum sempat untuk sekedar mengirim pesan langsung kepadanya. Hanya
lewat pesan grup saja sepertinya ku berani menyapa.
Aku
selalu mengabadikan momen kegiatan dan mengabarkannya kepada kawan-kawan media
social. Termasuk berbagi informasi tentang agenda kemahasiswaan. Keseringan ku
membagikan informasi tersebut di sambut oleh pesan langsung si “Tinta Manis”,
yah pertama kalinya dia melakukan itu.
Mati
bukan kepalang, rasa darah berdesir. Namun selalu ku tahan gejolaknya hingga
ingin mati rasanya. Tenang ku jawab semua pertanyaan tentang beberapa hal.
Termasuk bertukar informasi dan pikiran mengenai berbagai macam hal. “Akh akhirnya ku temukan si “Tinta Manis” kembali”, ceracau ku dalm
hati.
Hari
demi hari ku isi dengan berbagi cerita dengannya , baik itu obrolan seputar
kampus atau pun memori masa lalu yang salalu membuat kami terpingkal melihat
begitu adanya kelakuan dahulu. Hampir setengah purnama ku jalani kembali
hubungan ku dengan si “Tinta Manis”. Aku selalu bertanya “Sudah lama kita tak
jumpa, kapan bisa berkumpul bersama ?, tentunya dengan kawan2 yang lain” ,
“tunggu libur semua mungkin yah hehe” balasnya dengan sederhana tanpa ku tahu
mimik wajah yang digambarkannya. Padahal dalam diri ku berkata dibaik tanyaku
“kapan kita bisa bertemu dan melampiaskan rindu” kesalku. Sesal bukan lagi
kesal sudah satu purnama ! namun aku yakin nanti ada pertemuan yang layak bagi
aku dan rindu ku kepadanya.
“Ketika
aku memulai merindui mu, jalannya hanya ada dua simpan hingga diri ini dimakan
usia atau menjadi prosa realita yang perlu disampaikan secara lanngsung” -Anbu
Akhir
dari satu purnama yang dipertemukan curhatan dan guyonan kawan lama
Perlu
dunia ketahui, aku telah melakukan langkah yang kurang baik selama satu purnama
lalu. Jika dibandingkan dengan Odessa dalam cerita yunani snagatlah jauh dari
caraku. Namun aku ceritakan semua apa yang kurasa kepada kawan lamaku yang tak
lain adalah kawan si “Tinta Manis” juga. Selalu mereka desak jika perlu aku
ingin menyampaian frasa rindu kepada dia yang tak mau aku jelaskan kepada rembulan
yang belum sepenuhnya munucl dilangit malam.
“Belum memiliki ketepatan dan kebernian” tandasku.
Kala
libur ku coba mencari celah dimensi mana yang bisa ku ajak untuk menghilangkan
sementara frasa ku kepad si “Tinta Manis”. Ku lakukan dengan kawan lama ku.
Berencana makan di dekat Aria Jaya Sentika. Di tengah perjalananku ia bertanya,
“mengapa tak kau ajak dia berkumpul bersama ? ”, “tak sedang bergairah untuk
mengajak” jelasku singkat. Aku memang sudah terlalu kepayahan untuk menghadapi
langsung si “Tinta Manis”, padahal dalam hati ingin bertemu dengannya. Hanya
ingin melihat garis senyumnya saja tak lebih.
Aku
tunggu dengan sabar kedatangan nya dan dara itupun tiba serasa tak kuasa ku insafi kehadirannya. Tak ubahnya
rurbah mancari mangsa aku terus memburu matanya dan garis senyum khas yang
membuat skeptis. Aku balas tersenyum menggagapi senyumannya, namun apa daya tak
kuasa ku kepada kehadirannya sehingga membuat kikuk gerakku.
Kawan
lama hanya tertawa dalam bola matanya, hingga mungkin terpingkal melihat
kepolosanku bertutur kata kepada dara yang ku nantikan kehadirannya. Kami
lantas bebragi cerita tentang kehidupan selepas sekolah dulu. Aku sudah taka
sing dengan cerita ku dan si “Tinta Manis” karena sudah kudengar tempo hari di
telpon.
Perihal
obrolan lainnya hanya curhatan dan guyonan terhadap cerita-cerita ketika
sekolah dulu. Aku semakin kikuk mendengar si “Tinta Manis”. Di sela-sela
curhatan dan guyonan, kawan lama memandang mataku penuh dengan gurawan karena
kekikukan ku menjadi jadi.
Ia memecah suasana dengan bertanya bagaimana aku dan “dia”, aku kaget bukan
kepalang ketika ia pergoki aku sedang malamun dalam kekikukanku. Aku jawab
sekenanya karens tidak tahu harus bicara apa.
Ia pun tertawa lepas diikuti dengan gurauan si “Tinta Manis” mengiyakan kawan
lama. “Hemm tuhan apakah ini cobaan ” tanyaku dalam hati. “Kiranya menjadi
sebuah pertemuan yang tak biasa dan jauh dari khayalanku” curahanku kepada
diriku. Bagai ular di terkam elang aku sedang dalam tekanan, ya tekananan rindu
menjadi kekikukanku ketika berhadapan dengan dara itu.
“Jalan akan lurus dan menyesuaikan dengan kontur
daerahnya, bagaimana dengan perasaan ku padanya ? Tak sesuai dengan rencana
pada awal, namun membekas menjadi permulaan di satu lain keadaan dimana hari
itu melecuti rinduku lebih dalam menggali hingga pagi demi pagi selalu
kurindui” - Anbu
2 komentar:
utukutukutuk, kayak kenal :D
Sok kenal :p
Posting Komentar