Rabu, 18 Januari 2017

Si Tinta Manis : Pertemuan yang tak pernah biasa

Hasil gambar untuk pertemuan
Entah ini hanya kebetulan atau sudah menjadi takdir, pertemuan kita ku anggap tak pernah biasa. Bagaimana tidak sebagus-bagusnya rencana pada akhirnya berakkhir jauh dari khayalan. Tidak pernah aku duga dan tidak seidikitpun aku cium aroma tak sedap kepada jalannya rencana.
Baik pertama kali kita bertemu di Ibu Kota Provinsi sana ataupun di tempat rencana pertemuan lain kita. Hal-hal yang berbau mistis imagis sepertinya dalang dibalik semuanya. Sepuas hati ingin tertawa lepas jika ku bongkar satu persatu cerita didalamnya.
Baiklah, aku mulai dari awal perjumpaan kita selepas tak saling sua dalam banyak purnama.
Di saat dimana aku mengorbankan waktu dan pikiran untuk melanjutkan tuntutan hasrat keingintahuna dalam belajar, aku merasa tak eprnah lepas dari persoalan asmara. Padahal aku sudah tak lagi mersakannya sejak putusa dari dia yang sudah bahagia disana.
Dalam benakku , sudah cukuplah kurasakan derita dari dewi asmara. Namun sayangnya tak bias ku elak kan diri dari nya yang senantiasa mengejar dan memburu ku dengan panahnya.
Lembaran tak menyenangkan persoalan dengan “cinta” adalah yang sudah tak lagi ku acuhkan akhir2 ini. Di ujung purnama oktober, setiap saat kala pesannya datang aku tunjukan ke gelisahanku kepada malam. Ku dekatkan diri kepada angina yang berhembus kala itu, menyejukan jiwa hingga rasa otak kembali berjalan sesuai irama.
Sebelum aku lanjutkan, aku perkenalkan dia dalam cerita ini. Aku panggil ia “tinta manis”, seorang dara kelahiran awal bulan pahlawan dimana Mallaby tewas oleh semangat juang muda arek-arek Surabaya dengan tahun dimana awal kriris moneter menggerogoti sendi-sendi Ibu Pertiwi. Ia lahir dengan bawaan manis, tersirat dalam senyumnya yang selalu membuat skeptis hati ini. Tumbuh menjadi seorang dara yang menyihir beberapa kawan ku hingga mereka terjerembab kedalam pusaran asmaranya.
Pendahuluan yang biasa
Awal perkenalanku di tahun pertama karena tak sengaja, mungkin aku akan berterima kasih kepada kawan-kawan ku yg  pernah menjadi dua dengannya. Ketika peryama kali kun kena, rasa-rasanya seperti biasa saja, sama seperti ku kenal dara lain yang ada di sekolah kala itu.
Mulai menanjak ke tingkat dua aku sudah tak sendiri, sudah ada perasaan yang masuk dalam hari-hari ku. Dia itu tak lain adalah “dia” yang telah bahagia disana. Hari demi hari waktu selalu iri dengan perasaan ku kepada “dia”.
Sementara si “tinta manis” tetap bersama dalam satu atap yang sama dalam organisasi siswa. Aku menjadi wakil ketua kala itu. Tak banyak yang ku bicarakan dulu kepadanya hanya obrolan ikhwal seperti kawan sedia kalanya. Canda tawa dan cerita dunia remaja acap kali selalu menjadi bahan obrolam menyenangkan.
Hingga tak terasa tingkat tiga aku duduk, dan masih seperti sedia kalanya walaupun saat itu obrolan kami menyempit ke arah masa depan pasca tingkat tiga. Sampai saat itu aku masih dengan “dia” dan harapan selalu ada padanya. Selepas waktu berjalan sampai kepada suatu hari dimana perpisahan dengan kawan tercinta, aku selalu bertnaya kemana arah bentuk pertemanan kami semua. Dimana semuanya berpisah ke berbagai hal yang masing-masing tujukan.
Aku sendiri melanjutkan sekolah ke Jatinangor, tempat yang awam ku ketahui tepatnya di kaki gunung manglayang. Cuaca yang panas namun sejuk udaranya ku amini sebagai ganti dari keawanaman ku. Dari masa kepindahanku kesini awal dari pecahnya arah harapan kepada “dia”.
Seberapapun kuatnya dirimu meyakinkan kepada diriku akan betapa cerahnya “kita” nanti, aku tak jua merasa tenang dan selalu gelisah. Waktu pun berganti, purnama demi purnama datang silih berganti menyambut resesnya peresaan antara aku dan “dia”. 

Sementara itu hubungan ku dengan si “tinta manis” terhenti di ujung perpisahan lalu. Ia tengah belajar ilmu pertanian di Ibu Kota Provinsi sana sedangkan aku berkutat dengan dinamika waktu dan arsip Belanda.
Pada akhirnya kertas yang ku tulis bersama perasaan ku kepada “dia” semakin lama semakin tipis dan mulai pudar isinya. Aku sudah tak berhubungan via apapun selama purnama masih berganti. Tersirat dalam benakku untuk tak lagi memikirkan apa yang tuhan beri cinta kepada manusia dan merawatnya hingga waktunya tiba. Aku mulai pisahkan “dia” dengan dunia ku, dan mulai bersikap selayaknya kawan kepada kawan lainnya. 

“Malaikat tak pernah menyampaikan pesan cinta manusia kepada manusia lainnya, mereka hanya berserah diri dan taat kepada titah tuannya, yaitu Tuhan semesta alam, mendekatlah kepada tuannya agar pesan mu tersampaikan dan menjadi sebuah realitas di kemudian hari” –Anbu
Satu Purnama dengan si “Tinta Manis”
Penat ku piker yang pernah jalani kisah masa lalu dalam kebodohan kecil remaja. Tak pernah sepeser pun ku ungkit perasaan ku terhadap  yang lainnya termasuk kepada si “Tinta Manis”.
Akh rasanya ingin sekali ku lebur semua masa lalu dengan butiran timah panas. Selalu terbayang akan masa itu kupikir akan membuat hari demi hari  menjadi belenggu kebebasan ku. Hingga pada akhir nya si “Tinta Manis” muncul di tengah gelapnya siang.
Di awal oktober semua telah menjadi bias, termasuk masa lalu ku. Kini yang ada kesibukan diantara kegiatan mahasiswa dan pelajaran ku mengenai alam serta seluk beluknya ( termasuk manusia Nya ). Tenggelam dalam dinamika di kampus ku , selalu menjadi teman di satu termin ganjil ku disini. Mulai dari kagiatan jurusan hingga di student center.
Diwaktu senggang selalu ku ingat kawan-kawan ku di masa sekolahku dulu. Termasuk si “tinta manis” yang selalu hadri dengan senyumnya yang khas membuat skeptis. Namun sayang aku belum sempat untuk sekedar mengirim pesan langsung kepadanya. Hanya lewat pesan grup saja sepertinya ku berani menyapa.
Aku selalu mengabadikan momen kegiatan dan mengabarkannya kepada kawan-kawan media social. Termasuk berbagi informasi tentang agenda kemahasiswaan. Keseringan ku membagikan informasi tersebut di sambut oleh pesan langsung si “Tinta Manis”, yah pertama kalinya dia melakukan itu.
Mati bukan kepalang, rasa darah berdesir. Namun selalu ku tahan gejolaknya hingga ingin mati rasanya. Tenang ku jawab semua pertanyaan tentang beberapa hal. Termasuk bertukar informasi dan pikiran mengenai berbagai macam hal. “Akh  akhirnya ku temukan  si “Tinta Manis” kembali”, ceracau ku dalm hati.
Hari demi hari ku isi dengan berbagi cerita dengannya , baik itu obrolan seputar kampus atau pun memori masa lalu yang salalu membuat kami terpingkal melihat begitu adanya kelakuan dahulu. Hampir setengah purnama ku jalani kembali hubungan ku dengan si “Tinta Manis”. Aku selalu bertanya “Sudah lama kita tak jumpa, kapan bisa berkumpul bersama ?, tentunya dengan kawan2 yang lain” , “tunggu libur semua mungkin yah hehe” balasnya dengan sederhana tanpa ku tahu mimik wajah yang digambarkannya. Padahal dalam diri ku berkata dibaik tanyaku “kapan kita bisa bertemu dan melampiaskan rindu” kesalku. Sesal bukan lagi kesal sudah satu purnama ! namun aku yakin nanti ada pertemuan yang layak bagi aku dan rindu ku kepadanya.
“Ketika aku memulai merindui mu, jalannya hanya ada dua simpan hingga diri ini dimakan usia atau menjadi prosa realita yang perlu disampaikan secara lanngsung” -Anbu
Akhir dari satu purnama yang dipertemukan curhatan dan guyonan kawan lama
Perlu dunia ketahui, aku telah melakukan langkah yang kurang baik selama satu purnama lalu. Jika dibandingkan dengan Odessa dalam cerita yunani snagatlah jauh dari caraku. Namun aku ceritakan semua apa yang kurasa kepada kawan lamaku yang tak lain adalah kawan si “Tinta Manis” juga. Selalu mereka desak jika perlu aku ingin menyampaian frasa rindu kepada dia yang tak mau aku jelaskan kepada rembulan yang belum sepenuhnya munucl dilangit malam.  

“Belum memiliki ketepatan dan kebernian” tandasku.
Kala libur ku coba mencari celah dimensi mana yang bisa ku ajak untuk menghilangkan sementara frasa ku kepad si “Tinta Manis”. Ku lakukan dengan kawan lama ku. Berencana makan di dekat Aria Jaya Sentika. Di tengah perjalananku ia bertanya, “mengapa tak kau ajak dia berkumpul bersama ? ”, “tak sedang bergairah untuk mengajak” jelasku singkat. Aku memang sudah terlalu kepayahan untuk menghadapi langsung si “Tinta Manis”, padahal dalam hati ingin bertemu dengannya. Hanya ingin melihat garis senyumnya saja tak lebih.
Aku tunggu dengan sabar kedatangan nya dan dara itupun tiba serasa  tak kuasa ku insafi kehadirannya. Tak ubahnya rurbah mancari mangsa aku terus memburu matanya dan garis senyum khas yang membuat skeptis. Aku balas tersenyum menggagapi senyumannya, namun apa daya tak kuasa ku kepada kehadirannya sehingga membuat kikuk gerakku.
Kawan lama hanya tertawa dalam bola matanya, hingga mungkin terpingkal melihat kepolosanku bertutur kata kepada dara yang ku nantikan kehadirannya. Kami lantas bebragi cerita tentang kehidupan selepas sekolah dulu. Aku sudah taka sing dengan cerita ku dan si “Tinta Manis” karena sudah kudengar tempo hari di telpon.
Perihal obrolan lainnya hanya curhatan dan guyonan terhadap cerita-cerita ketika sekolah dulu. Aku semakin kikuk mendengar si “Tinta Manis”. Di sela-sela curhatan dan guyonan, kawan lama memandang mataku penuh dengan gurawan karena kekikukan ku menjadi jadi.

Ia memecah suasana dengan bertanya bagaimana aku dan “dia”, aku kaget bukan kepalang ketika ia pergoki aku sedang malamun dalam kekikukanku. Aku jawab sekenanya karens tidak tahu harus bicara apa. 
Ia pun tertawa lepas diikuti dengan gurauan si “Tinta Manis” mengiyakan kawan lama. “Hemm tuhan apakah ini cobaan ” tanyaku dalam hati. “Kiranya menjadi sebuah pertemuan yang tak biasa dan jauh dari khayalanku” curahanku kepada diriku. Bagai ular di terkam elang aku sedang dalam tekanan, ya tekananan rindu menjadi kekikukanku ketika berhadapan dengan dara itu.

“Jalan akan lurus dan menyesuaikan dengan kontur daerahnya, bagaimana dengan perasaan ku padanya ? Tak sesuai dengan rencana pada awal, namun membekas menjadi permulaan di satu lain keadaan dimana hari itu melecuti rinduku lebih dalam menggali hingga pagi demi pagi selalu kurindui” - Anbu  

2 komentar:

Unknown mengatakan...

utukutukutuk, kayak kenal :D

Max Verstehen mengatakan...

Sok kenal :p