Rabu, 18 Januari 2017

Refleksi Ketahanan Pangan dan Kesejahteraan Petani

Hasil gambar untuk kesejahteraan petaniPangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia yang harus dipenuhi setiap saat. Hak untuk memperoleh pangan merupakan salah satu hak asasi manusia, sebagaimana tersebut dalam pasal 27 UUD 1945 maupun dalam Deklarasi Roma (1996). Pertimbangan tersebut mendasari terbitnya UU No. 7/1996 tentang Pangan. Dengan pertimbangan pentingnya beras tersebut, Pemerintah selalu berupaya untuk meningkatkan ketahanan pangan terutama yang bersumber dari peningkatan produksi dalam negeri.
UU Pangan bukan hanya berbicara tentang ketahanan pangan, namun juga memperjelas dan memperkuat pencapaian ketahanan pangan dengan mewujudkan kedaulatan pangan ( food soveregnity ) dengan kemandirian pangan (food resilience) serta keamanan pangan (food safety). "Kedaulatan Pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan Pangan yang menjamin hak atas Pangan bagi rakyat dan yang memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem Pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal". Indonesia adalah Negara dengan potensi alam yang sangat besar, namun kenyatannya bahwa sebagian besar lahan di Indonesia tidak dikelola dengan baik sehingga potensi yang ada tidak bisa dinikmati oleh masyarakat. Hal ini banyak terjadi akibat minimnya pengetahuan mengenai bagaimana mengolah sumber daya alam yang ada. Bahkan lebih banyaknya sumber daya alam yang ada diserahkan pengelolaannya kepada pihak asing. 
Namun siapa kira bahwa pengelolaan yang diserahkan kepada swasta membuat masayrakat lebih sejahtera ketimbang masyarakat yang mengelola lahannya sendiri. Mari kita bandingkan taraf hidup petani pangan yang mengelola lahannya dari awal pembukaan lahan sampai masa pasca panen dengan buruh di perkebunan-perkebunan baik itu milik Negara maupun swasta. Hampir dapat dipastikan apa yg didapat oleh buruh perkebunan akan lebih besar dari pada petani pangan yang harus mengurus lahannya sendiri dan dengan resiko produksi yang mereka tanggung sendiri.
Hal ini ironis, mengingat bahwa Indonesia adalah Negara yang pernah mencapai swasembada beras pada tahun 1984 dan dianugerahi sebuah medali bertuliskan ”from rice importer to self sufficiency” dari Food and Agriculture Organization (FAO). Boleh dikatakan Indonesia adalah raksasa agraris yang sedang tertidur di tengah kepungan industrialisasi dan modernisasi yang bersifat kultural. Namun coba kita tengok kembali era orde baru yang mampu menunjukan kesuksesannya mencapai swasembada pangan. Lewat program Revolusi Hijau, pemerintah Orba menata kembali sistem pertanian yang ada dengan dikombinasikan dengan alat-alat modern yang didatangkan dari luar negeri, seperti Thailand, Vietnam, Tiongkok, Korea Selatan, dan Jepang. Dengan fokus yang demikian besarnya pemerintah Orba kepada program tersebut hingga mencapai prestasi yang belum bisa ditorehkan kembali oleh bangsa kita. 
Sayang sekali jika melihat kepada kenyataannya pada masa ini yang semuanya sudah serba modern, malah terkesan petani kita lebih malas daripada masa ketika swasembada pangan tahun 1984. Pemanfaatan teknologi dan sumber daya manusia yang dewasa ini tidak efektif. Padahal ada ribuan sarjana pertanian yang setiap tahunnya siap untuk mendedikasian ilmu nya untuk membangun pertanian Indonesia demi mencapai ketahanan pangan nasional. Namun sayangnya lapangan pekerjaan yang mampu menampung tidak sampai seratus persen, mungkin hanya sekitar 20 persen. Padahal sekali lagi, ada hamper 40 Juta Petani yang ada di Indonesia yang sangat butuh sentuhan dari para sarjana pertanian untuk membantu merekea membangun pertanian di daerah-daerah, pun sebaliknya para sarjana yang kurang meminati bidang yang mereka pelajari bahkan banyak yang tidak linear apa yang mereka pelajari dengan yang dilakukan setelah lulus, karena dengan alasan sedikitnya lapangan kerja di dunia pertanian.
Sekarang pertanyaanya adalah bagaimana Indonesia mencapai swasembada pangan untuk mewujudkan program yang lebih besar lagi yaitu ketahanan pangan ?. Mari kita lihat angka 40 Juta petani yang ada di Indonesia, apakah yang dihasilkan membuat kehidupannya sejahtera. Dari data BPS sampai semester 1 ( Maret 2016 ) masyarakat pedesaan yang mayoritas bekerja sebagai petani 14.11 persen hidup di taraf kemiskinan. Taraf kemiskinan di kalangan petani ini bisa diakibatkan beberapa factor, bisa dari factor pekerjaan, social, politik, ataupun budaya konservatif yang menuntut hidup mereka untuk hidup sederhana.
Faktor produksi yang utama pasti adalah kegagalan panen yang mengakibatkan petani merugi sehingga hasil panen tak cukup banyak mengembalikan modal. Dari faktor sosial-politik bisa jadi karena kurang terpantau dan minimnya dukungan serta sarana pendukung pertanian yang modern sehingaa mengakibatkan fase produksi hingga panen berjalan secara tradisional sehingga hasil yang didapat jauh ebih sedikit apabila menggunakan alat-alat modern. Faktor budaya yang kental di masyarakat pedesaan di Indonesia mungkin menyubambang hanya sebagaian kecil dari masalah yang menghambat perkembangan pertanian di Indonesia.
Sebenarnya masalah kesejahteraan petani tidak hanya ada pada masa sekarang, namun sudah menjadi masalah dari masa colonial. Walaupun dahulu Hindia Belanda ( sekarang Indonesia ) adalah Negara koloni yang dikenal sebagai salah satu eksportir produk pangan dan perkebunan terbesar di Dunia. Namun disisi lain para petinggi colonial tidak peduli dengan nasib para petani. Mereka memberi sedikit upah kepada buruh perkebunan dan petani yang menghabiskan waktunya demi kejayaan agrarian di Hindia Belanda.
Pada saat itu lahan pertanian mencakup wilayah yang luas baik itu di Jawa maupun Sumatera. Permintaan produksi untuk pangan dan industry sangatlah tinggi, sehingga para pejabat tinggi di Hindia Belanda merasa perlu diperluasnya lahan pertanian. Alhasil banyak tanah-tanah merdeka milik petani yang terpaksa disewakan dengan harga yang murah kepada pihak pengelola. Peningkatan produksi berarti pula meningkatnya permintaan tenaga kerja terutama dalam bidang pertanian.
Namun meningkatnya angka kebutuhan pekerja, tidak diimbangi dengan meningkatnya taraf hidup dari para pekerja. Di Desa pembayaran tenaga kerja dengan uang tunai bersifat kepada pekerjaan. Berbeda dengan pekerjaan buruh yang bekerja berdasarkan waktu pekerjaan mereka. Para petani harus berjibaku untuk sekedar mendapatkan 50 tail gulden. Apa lagi ketika tanam paksa yang diterapkan semasa Gubernur Jenderal Van den Bosch,  kehidupan mereka sangat sulit.
Di Cirebon misalnya saja tanah-tanah yang dahulu bekas tanam paksa yang tadinya adalah sawah basah kemudia di tanami tanaman perkebunan menjadikan tanah tersebut tidak dapat kembali diapakai sebagai tanah basah. Walhasil ketika kebijakan tanam paksa dihaous kemudian digantikan dengan undang-undang agrarian yang membebaskan petani malah tidak dapat ditanami padi dan banyak panen yang gagal karena tanah yang tidak subur lagi.
Akibat Kerugian secara materil ini banyak penduduk yang berhutang untuk menutup biaya produksi yang mengkibatkan banyak nya petani hidup dalam kemiskinan. Kemudian banyak petani yang menyewakan tanahnya kepada tuan tanah ( Komunalisasi Tanah ) dengan harga tidak wajar. Muncul kemudian elit-elit penguasa tanah yang merampas kemerdekaan kaum tani beserta hasil panen mereka. Diferensiasi yang terjadi akibat dari kebijakan tersebut memposisikan petani pemilik tanah sebagai bruruh yang disewa oleh penyewa tanah bukan sebagai pemilik tanah. Padahal pajak tanah tetap dibayarkan oleh pemiliki tanah.
Apa yang terjadi dimasa lalu dengan pertanian kolonial yang menyedot segala kemerdekaan petani pada saat itu merupakan hal yang seyogianya tidak terjadi. Aplagi di era modernisasi yang kemudian memunculkan gagasan industrialisasi seharusnya bisa dimanfaatkan untuk sector pertanian. Petani adalah masyarakat yang bukan pemilik tanah yang diposisikan sebagai kaum rendah seperti yang terjadi pada masa kolonial.
Sekarang adalah masa kembali petani mengukir prestasi dengan mampu menjawab tantangan ketahanan pangan nasional. Refleksi dari masa lalu, kesejahteraan petani harus di nomor satukan. Karena bila petani nya tidak sejahtera, bagaiaman mampu menyejahterakan kehidupan seluruh rakyat Indonesia. Pemerinth harus lebih intens dan fokus dalam meningkatkan produktivitas dari sector pertanian lewat pemanfaatan Sumber daya manusia yang modern serta teknologi pertanian yang mutakhir. Agar tercapainya swasembada pangan dan ketahanan panagan nasional untuk menggapai kesejahteraan social bagi seluruh rakyat Indonesia.


Sumber
Breman, Jan. 1986. Penguasaan tanah dan tenaga kerja : Jawa Masa Kolonial. Jakarta
     : Penerbit LP3S
https://www.bps.go.id/Subjek/view/id/23#subjekViewTab3|accordion-daftar-subjek1 diakses pada 22 September 2016 Pukul 00.20 WIB

http://www.bulog.co.id/ketahananpangan.php diakses pada 22 September 2016 Pukul 00.20 WIB 

0 komentar: