Masih hangat beberapa kasus di tahun 2017 yang melibatkan pelajar baik dari
tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Dari mulai permasalahan penyalahgunaan
narkoba, tindak asusila, kekerasan, merebaknya pornografi, hingga aksi bullying dan persekusi terhadap pelajar.
Hal-hal tersebut merupakan imbas dari gelombang globalisasi yang didorong oleh kemajuan
teknologi sehingga masyarakat khususnya pelajar dapat mengakses segala sesuatu
hanya lewat sentuhan jari.
Tren yang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam ideologi Negara
masuk dan merusak mental generasi millennium. Dari gaya berbicara, berbusana,
hingaa berbahasa setiap kali tren baru muncul nampaknya anak-anak di negara ini
selalu up to date. Bagus jika hal
tersebut merupakan tren positif, namun
sayangnya kebanyakan tren tersebut bersebrangan dengan nilai kearifan lokal.
Penulis ambil contoh tren ber tanda pagar “challenges” yang kerap kali muncul dan kebanyakan berasal dari
barat. Di
beberapa challanges yang pernah
muncul dan viral di dunia maya memang membuat tren positif namun tidak sedikit
pula yang membawa stigma negatif. Contohnya tanda pagar naik turun challenges, ketika kita melihat dari
sisi budaya hal ini berkaitan dengan budaya pop yang ada di Indonesia yaitu musik
dan tari-tarian. Namun di satu sisi dalam beberapa unggahan yang pernah penulis
lihat banyak sekali yang menabrak nila-nilai moral dan cenderung menjurus pada
pornoaksi.
Hal ini membuat penulis
khawatir tentang masa depan generasi millennium yang notabene adalah generasi
penerus tongkat estafet kepemimpianan bangsa. Mahatma Gandhi pernah memperingatkan
tentang salah satu tujuh dosa fatal, yaitu “pendidikan tanpa karakter”. Dr. Martin Luther King juga pernah berkata: “Kecerdasan
plus karakter itu adalah tujuan akhir dari pendidikan sebenarnya”. Semantara
itu Bapak Pendidikan Nasional kita Ki Hajar Dewantara mengatakan bahwa tujuan
pendidikan bangsa harus berpilar kepada Cipta, Rasa dan Karsa.
Pendidikan karakter merupakan suatu entitas yang luar biasa berpengaruh
untuk perkembangan seseorang. Pengalaman penulis sejak SD hingga SMA selalu
dicekoki oleh nilai-nilai yang berasal dari Ideologi Negara dan norma-norma
dalam masyarakat. Hal tersebut membuat penulis kebal dengan tren-tren masa kini
yang terkadang membuat khawatir para orang tua. Pun begitu juga dengan para
orang tua yang mendapat pendidikan pada era orde baru ataupun orde lama
sepertinya kebal dengan tren-tren masa kini.
Pada era Orde lama muncul sistem pendidikan yang dinamakan Sapta Panca
Utama. Sistem pendidikan ini dalam beberapa poin masih diimplementasikan oleh
masyarakat luas contohnya adalah upacara bendera dan peringatan hari penting
nasional. Namun sayangnya dalam beberapa poin penting seperti usaha pencerdasan
masayrakat lewat ilmu terapan dan pendidikan karakter dalam program kelas
masyrakat belum konsisten sehingga poin tersebut gagal.
Dengan mengedepankan masalah pendidikan karakter pelajar, komodifikasi
terhadap program pendidikan karakter Sapta Usaha Tama yang bisa dilakukan
terutama untuk menghadap tren budaya masa kini tentunya adalah dengan
merevitalisasi peran Idelogi Negara dalam kurrikulum pendidikan . Hal ini bisa
ditambah dengan memperbanyak kegiatan wajib bertemakan kebangsaan dan
pembentukan karakter. Untuk monitoring perlu juga diadakan seringnya kelas konseling
dan mentoring sehingga kontrol terhadap mental dan moral pelajar bisa dipantau.
Dan pada akhirnya setiap usaha yang coba diperbuat untuk memajukan
pendidikan adalah suatu hal yang wajib
dilakukan. Tidak peduli sesulit apa dan semahal apapun caranya, demi kemjuan
pendidikan bangsa Indonesia penulis yakini segala hambatan adalah nyata untuk
ditaklukan. Semoga bangsa kita semakin kreatif dan inovatif dalam memajukan
pendidikan dan tentu saja tetap berpilar pada Cipta, Rasa dan Karsa.
0 komentar:
Posting Komentar