Minggu, 16 Juli 2017

Komodifikasi Program Pendidikan Karakter dalam Sapta Usaha Tama Era Orde Lama untuk Menghadapi Tren Budaya Global Masa Kini

Masih hangat beberapa kasus di tahun 2017 yang melibatkan pelajar baik dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Dari mulai permasalahan penyalahgunaan narkoba, tindak asusila, kekerasan, merebaknya pornografi, hingga aksi bullying dan persekusi terhadap pelajar. Hal-hal tersebut merupakan imbas dari gelombang globalisasi yang didorong oleh kemajuan teknologi sehingga masyarakat khususnya pelajar dapat mengakses segala sesuatu hanya lewat sentuhan jari.
Tren yang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam ideologi Negara masuk dan merusak mental generasi millennium. Dari gaya berbicara, berbusana, hingaa berbahasa setiap kali tren baru muncul nampaknya anak-anak di negara ini selalu up to date. Bagus jika hal tersebut merupakan tren positif,  namun sayangnya kebanyakan tren tersebut bersebrangan dengan nilai kearifan lokal.
Hasil gambar untuk kesejahteraan petani
Penulis ambil contoh tren ber tanda pagar “challenges” yang kerap kali muncul dan kebanyakan berasal dari barat. Di beberapa challanges yang pernah muncul dan viral di dunia maya memang membuat tren positif namun tidak sedikit pula yang membawa stigma negatif. Contohnya tanda pagar naik turun challenges, ketika kita melihat dari sisi budaya hal ini berkaitan dengan budaya pop yang ada di Indonesia yaitu musik dan tari-tarian. Namun di satu sisi dalam beberapa unggahan yang pernah penulis lihat banyak sekali yang menabrak nila-nilai moral dan cenderung menjurus pada pornoaksi.
Hal ini membuat penulis khawatir tentang masa depan generasi millennium yang notabene adalah generasi penerus tongkat estafet kepemimpianan bangsa. Mahatma Gandhi pernah memperingatkan tentang salah satu tujuh dosa fatal, yaitu “pendidikan tanpa karakter”.  Dr. Martin Luther King juga pernah berkata: “Kecerdasan plus karakter itu adalah tujuan akhir dari pendidikan sebenarnya”. Semantara itu Bapak Pendidikan Nasional kita Ki Hajar Dewantara mengatakan bahwa tujuan pendidikan bangsa harus berpilar kepada Cipta, Rasa dan Karsa.
Pendidikan karakter merupakan suatu entitas yang luar biasa berpengaruh untuk perkembangan seseorang. Pengalaman penulis sejak SD hingga SMA selalu dicekoki oleh nilai-nilai yang berasal dari Ideologi Negara dan norma-norma dalam masyarakat. Hal tersebut membuat penulis kebal dengan tren-tren masa kini yang terkadang membuat khawatir para orang tua. Pun begitu juga dengan para orang tua yang mendapat pendidikan pada era orde baru ataupun orde lama sepertinya kebal dengan tren-tren masa kini.
Pada era Orde lama muncul sistem pendidikan yang dinamakan Sapta Panca Utama. Sistem pendidikan ini dalam beberapa poin masih diimplementasikan oleh masyarakat luas contohnya adalah upacara bendera dan peringatan hari penting nasional. Namun sayangnya dalam beberapa poin penting seperti usaha pencerdasan masayrakat lewat ilmu terapan dan pendidikan karakter dalam program kelas masyrakat belum konsisten sehingga poin tersebut gagal.
Dengan mengedepankan masalah pendidikan karakter pelajar, komodifikasi terhadap program pendidikan karakter Sapta Usaha Tama yang bisa dilakukan terutama untuk menghadap tren budaya masa kini tentunya adalah dengan merevitalisasi peran Idelogi Negara dalam kurrikulum pendidikan . Hal ini bisa ditambah dengan memperbanyak kegiatan wajib bertemakan kebangsaan dan pembentukan karakter. Untuk monitoring perlu juga diadakan seringnya kelas konseling dan mentoring sehingga kontrol terhadap mental dan moral pelajar bisa dipantau.

Dan pada akhirnya setiap usaha yang coba diperbuat untuk memajukan pendidikan adalah suatu hal  yang wajib dilakukan. Tidak peduli sesulit apa dan semahal apapun caranya, demi kemjuan pendidikan bangsa Indonesia penulis yakini segala hambatan adalah nyata untuk ditaklukan. Semoga bangsa kita semakin kreatif dan inovatif dalam memajukan pendidikan dan tentu saja tetap berpilar pada Cipta, Rasa dan Karsa.

0 komentar: