Jumat, 29 September 2017

Kritik Sumber Sejarah Visual

Melihat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin hari semakin berkembang jauh memunculkan berbagai macam inovasi. Arus globalisasi yang cepat turut pula mengantar teknologi hingga ke genggaman kita. Seolah-olah kita dapat menjelajahi seluruh pelosok dunia hanya bermodalkan sebuah telepon pintar yang keberadaannya menjamur di masyarakat.

Budaya digital yang digandrungi masyarakat modern kini memunculkan sebuah pertanyaan besar mengenai esksitensi budaya konvensional seperti membaca buku, koran, majalah, dll. Terlebih dengan semakin besarnya dorongan untuk efisensi penggunaan kertas sehingga meminimalisir terjadinya perubahan global menjadi faktor pendorong era digital berkembang begitu pesat. Kondisi ini kemudian sekarang disebut sebagai paperless culture atau budaya nirkertas.

Menurut Guru Besar Ilmu Sejarah Unpad Prof. Dr. Reiza D. Dienaputra sebagai seorang sejarawan melihat era digital sekarang merupakan sebuah tantangan dari kemajuan dunia modern. Kemudian beliau juga menyempilkan pertanyaan “bagaimana sejarawan mampu memanfaatkan dunia sebelah sebagai ajang unjuk gigi Sejarawan ?”.  Hal tersebut merupakan tantangan yang relevan karena jika dilihat memang dunia sejarah konvensional sekarang terancam,  apa lagi slogan paperless culture yang lahir akibat dari berkurangnya populasi pohon dan menybabkan perubahan iklim.

Charles-Victor Langois dan Charles Seignobos dari Universitas Sorbonne, Paris, mengatakan bahwa, “The historian works with documents…There is non substitute for documents: no documents, no history”. Dari pernyataan tersebut saja bisa dengan jelas memunculkan wacana jika sejarawan tidak mampu berenang dalam arus globalisasi maka niscaya ilmu sejarah dan sejarawan akan menuju gerbang kematian. 

Sangat sulit memang jika kita melihat bahwa dokumen dalam media kertas sudah ada sejak ribuan tahun. Dan tentu saja jumlah dokumen yang ada berjuta-juta jumlahnya dengan berbagai usia. Hal ini menjadi sebuah diskursus hingga sekarang tentang bagaimana menyelamatkan aset berharga tersebut. Tentu saja memerlukan waktu yang lama jika harus melakukan digitalisasi dokumen sejarah, apalagi dokumen yang berusia ratusan tahun.

Adapun dalam proses rekonstruksi sejarah, banyak sejarawan menganggap dokumen dalam media kertas atau disebut sebagai sumber tertulis ini sangat vital perannya. Pandangan sejarawan tersebut bertahan dari abad ke – 19 hingga awal abad ke – 20. [1]Dengan kata lain sumber tertulis adalah sumber utama dalam penulisan sejarah. Kemudian muncul pertanyaan, jika melihat perkembangan zaman apa tidak ada sumber kredibel lain yang bisa digunakan sebagai sumber sejarah.

Paradigma tersebut, sebetulnya sudah terbantahkan oleh karya Thucydides The Pelloponesian War yang menggunakan sumber lisan sebagai sumber utamanya. Namun, karena teknologi yang belum semaju sekarang Thucydides hanya menggunakan sebuah stenograf yang dianggap oleh sejarawan tidak dapat diukur kebenarannya. Setelah fonograf ditemukan dan banyak dipakai pada abad ke -20, sumber lisan pun memiliki tempatnya sendiri dalam kajian ilmu sejarah. Namun, sayang sumber lisan belum cukup untuk merekonstruksi sebuah sejarah secara utuh, perlu koroborasi agar sebuah peristiwa dapat direkonstruksi.

Dengan berkembangnya teknologi belakangan ini dan wacana paperless culture yang semakin ramai, bukan tidak mungkin sumber lisan akan menggeser sumber tertulis sebagai sumber sejarah utama. Dimana jika melihat sumber visual pun akan sama pentingnya sebagai sumber sejarah.

Gilbert J. Garraghan (1957), secara implisit mengatakan bahwa di samping oral sources dan written sources, klasifikasi lain yang merupakan sumber sejarah resmi adalah picture (pictorial) atau figure (figured). Menurut Garaghan, transmisi data sejarah melalui gambar dapat terjadi melalu beberapa cara, seperti, monumental transmission. ornamental transmission, graphic transmission, photographic transmission, dan phonographic transmission.[2]Implementasi sumber visual dapat ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Patung pancoran atau petung dirgantara misalnya, merupakan sebuah tinggalan sejarah dari orde lama yang tentu saja menjadi saksi dinamika kota Jakarta.

Secara umum, sumber visual, memiliki dua pengertian besar. Dalam arti luas sumber visual mencakup semua sumber sejarah, baik sumber tertulis, sumber lisan, maupun sumber benda, atau sejalan dengan pengertian visual menurut Barnard (1998: 11-18), yakni, ”everything that can be seen” ( Dienaputra, 2010 ) . Dalam pengertian sempit, sumber visual hanya mencakup sumber-sumber berbentuk gambar, baik bergerak maupun tidak bergerak, seperti foto, lukisan, ukiran, dan film.[3]
Dalam kaitannya dengan tulisan ini, sumber visual tentu saja perlu diverifikasi agar dapat menjadi sebuah sumber sejarah. Seperti pada perekonstruksian sejarah lainnya, sumber visual juga menempuh proses yang sama. Dimulai dengan tahap heuristik, dimana sumber visual dapat didapatkan mudah dari berbagai pusat informasi atau bermacam-macam media  terutama internet. Banyak kanal-kanal berita maupun foto yang dapat menjadi rujukan seperti, kanal foto www.nationalgeographic.com/.

Dalam tahapan kritik, dilakukan verifikasi terhadap sumber yang diperoleh. Untuk memperkuat verifikasi, baik gambar bergerak maupun tidak bergerak, seringkali diperlukan bantuan ilmu lain untuk mengetahui otentisitas dan kredibilitas sumber, baik untuk sumber yang diperoleh melalui pengumpulan data secara konvensional maupun nonkonvensional. Pendekatan ilmu komunikasi dan filologi Tahapan rekonstruksi sejarah seni berkonstruk sejarah visual.

Untuk mempermudah dalam verifikasi sumber visual, sejarawan dapat mencari sumber yang sudah memiliki identitas baik itu caption maupun tanggal publikasi, pengambilan gambar, maupun subjek yang mengambil gambar. Dalam sebuah pameran foto, museum, perpustakaan, atau pusat informasi lain biasanya sudah memiliki tag identifikasi gambar.
PHOTOGRAPH BY EDUARDO TEIXEIRA DE SOUSA, NATIONAL GEOGRAPHIC YOUR SHOT


Diatas merupakan contoh dari hasil heuristik sumber visual yang disadur dari laman web [4]. Dalam Gambar tersebut Identitas pengambil gambar sudah jelas terpampang, kemudian tanggal publikasi dan caption foto juga sudah tersedia. Namun untuk menjadikan gambar ini sebagai sumber sejarah masih  perlu dilakukan koroborasi agar mampu berbicara baik sumber lisan maupun tertulis. Contoh selanjutnya adalah patung dirgantara atau acap kali disbeu sebagai patung pancoran yang merupakan tinggalan dari masa orde lama. Patung tersebut dapat berbicara banyak tentang perubahan sosial yang terjadi di Jakarta.  Dengan tentu saja perlu bantuan dukungan dari sumber lain dan juga teori dan konsep ilmu sosial lain seperti semantik, sosiologi, atau pun komunikasi.

Dengan demikian sejarah visual dapat menjadi arah metode rekonstruksi baru bagi sejarah. Tentu saja perlu pengembangan dan perhatian khusus sejarawan untuk mengembangkan metode penelitian sejarah visual. Untuk itu perlu kiranya untuk menggaet sejarawan muda yang memiliki ketertarikan tinggi dalam memproyeksikan sejarah dalam bingkai sejarah visual kedepan agar mampu menunjukan eksistensinya dalam ranah ilmu pengetahuan dan juga sebagi hiburan yang mampu mengimbangi arus modern.
Sumber
Dienaputra, Reiza D. 2006. Sejarah Lisan : Konsep dan Metode. Bandung : Penerbit
                                            Minoor books
Gottschalk, Luis. 2008. Mengerti Sejarah. Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia
Lubis, Nina H. 2008. Metode Sejarah. Bandung : YMSI cabang Jawa Barat
Internet :




[1] Ibid, Hal 2
[2] Ibid, Hal 3
[3] http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2014/03/the_visual_culture_in_general_election.pdf
[4] http://www.nationalgeographic.com/photography/photo-oftheday/2017/09/portugal-lighthouse-wave/

0 komentar: