Melihat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
yang semakin hari semakin berkembang jauh memunculkan berbagai macam inovasi.
Arus globalisasi yang cepat turut pula mengantar teknologi hingga ke genggaman
kita. Seolah-olah kita dapat menjelajahi seluruh pelosok dunia hanya
bermodalkan sebuah telepon pintar yang keberadaannya menjamur di masyarakat.
Budaya digital yang digandrungi
masyarakat modern kini memunculkan
sebuah pertanyaan besar mengenai esksitensi budaya konvensional seperti membaca
buku, koran, majalah, dll. Terlebih dengan semakin besarnya dorongan untuk efisensi
penggunaan kertas sehingga meminimalisir terjadinya perubahan global menjadi
faktor pendorong era digital berkembang begitu pesat. Kondisi ini kemudian sekarang disebut sebagai paperless culture atau budaya nirkertas.
Menurut Guru Besar Ilmu Sejarah Unpad Prof. Dr.
Reiza D. Dienaputra sebagai seorang sejarawan melihat era digital sekarang merupakan
sebuah tantangan dari kemajuan dunia modern. Kemudian beliau juga menyempilkan
pertanyaan “bagaimana sejarawan mampu memanfaatkan dunia sebelah sebagai ajang
unjuk gigi Sejarawan ?”. Hal tersebut
merupakan tantangan yang relevan karena jika dilihat memang dunia sejarah
konvensional sekarang terancam, apa lagi
slogan paperless culture yang lahir
akibat dari berkurangnya populasi pohon dan menybabkan perubahan iklim.
Charles-Victor Langois dan Charles Seignobos dari Universitas
Sorbonne, Paris, mengatakan bahwa, “The
historian works with documents…There is non substitute for documents: no
documents, no history”. Dari pernyataan tersebut saja bisa dengan jelas
memunculkan wacana jika sejarawan tidak mampu berenang dalam arus globalisasi
maka niscaya ilmu sejarah dan sejarawan akan menuju gerbang kematian.
Sangat sulit memang jika kita melihat bahwa dokumen
dalam media kertas sudah ada sejak ribuan tahun. Dan tentu saja jumlah dokumen
yang ada berjuta-juta jumlahnya dengan berbagai usia. Hal ini menjadi sebuah
diskursus hingga sekarang tentang bagaimana menyelamatkan aset berharga
tersebut. Tentu saja memerlukan waktu yang lama jika harus melakukan
digitalisasi dokumen sejarah, apalagi dokumen yang berusia ratusan tahun.
Adapun dalam proses rekonstruksi sejarah, banyak
sejarawan menganggap dokumen dalam media kertas atau disebut sebagai sumber
tertulis ini sangat vital perannya. Pandangan sejarawan tersebut bertahan dari
abad ke – 19 hingga awal abad ke – 20. [1]Dengan
kata lain sumber tertulis adalah sumber utama dalam penulisan sejarah. Kemudian
muncul pertanyaan, jika melihat perkembangan zaman apa tidak ada sumber
kredibel lain yang bisa digunakan sebagai sumber sejarah.
Paradigma tersebut, sebetulnya sudah terbantahkan
oleh karya Thucydides The Pelloponesian
War yang menggunakan sumber lisan
sebagai sumber utamanya. Namun, karena teknologi yang belum semaju sekarang
Thucydides hanya menggunakan sebuah stenograf
yang dianggap oleh sejarawan tidak dapat diukur kebenarannya. Setelah fonograf ditemukan dan banyak dipakai
pada abad ke -20, sumber lisan pun memiliki tempatnya sendiri dalam kajian ilmu
sejarah. Namun, sayang sumber lisan belum cukup untuk merekonstruksi sebuah
sejarah secara utuh, perlu koroborasi agar sebuah peristiwa dapat
direkonstruksi.
Dengan berkembangnya teknologi belakangan ini dan
wacana paperless culture yang semakin
ramai, bukan tidak mungkin sumber lisan akan menggeser sumber tertulis sebagai
sumber sejarah utama. Dimana jika melihat sumber visual pun akan sama
pentingnya sebagai sumber sejarah.
Gilbert J. Garraghan (1957), secara implisit
mengatakan bahwa di samping oral sources
dan written sources, klasifikasi lain
yang merupakan sumber sejarah resmi adalah picture
(pictorial) atau figure (figured). Menurut Garaghan, transmisi data sejarah melalui gambar
dapat terjadi melalu beberapa cara, seperti, monumental transmission. ornamental transmission, graphic transmission,
photographic transmission, dan phonographic transmission.[2]Implementasi
sumber visual dapat ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Patung pancoran atau
petung dirgantara misalnya, merupakan sebuah tinggalan sejarah dari orde lama
yang tentu saja menjadi saksi dinamika kota Jakarta.
Secara umum, sumber visual, memiliki dua pengertian
besar. Dalam arti luas sumber visual mencakup semua sumber sejarah, baik sumber
tertulis, sumber lisan, maupun sumber benda, atau sejalan dengan pengertian
visual menurut Barnard (1998: 11-18), yakni, ”everything that can be seen” ( Dienaputra, 2010 ) . Dalam pengertian
sempit, sumber visual hanya mencakup sumber-sumber berbentuk gambar, baik
bergerak maupun tidak bergerak, seperti foto, lukisan, ukiran, dan film.[3]
Dalam kaitannya dengan tulisan ini, sumber visual
tentu saja perlu diverifikasi agar dapat menjadi sebuah sumber sejarah. Seperti
pada perekonstruksian sejarah lainnya, sumber visual juga menempuh proses yang
sama. Dimulai dengan tahap heuristik, dimana sumber visual dapat didapatkan
mudah dari berbagai pusat informasi atau bermacam-macam media terutama internet. Banyak kanal-kanal berita
maupun foto yang dapat menjadi rujukan seperti, kanal foto www.nationalgeographic.com/.
Dalam tahapan kritik, dilakukan
verifikasi terhadap sumber yang diperoleh. Untuk memperkuat verifikasi, baik
gambar bergerak maupun tidak bergerak, seringkali diperlukan bantuan ilmu lain
untuk mengetahui otentisitas dan kredibilitas sumber, baik untuk sumber yang
diperoleh melalui pengumpulan data secara konvensional maupun nonkonvensional.
Pendekatan ilmu komunikasi dan filologi Tahapan rekonstruksi sejarah seni
berkonstruk sejarah visual.
Untuk mempermudah dalam
verifikasi sumber visual, sejarawan dapat mencari sumber yang sudah memiliki
identitas baik itu caption maupun tanggal publikasi, pengambilan gambar,
maupun subjek yang mengambil gambar. Dalam
sebuah pameran foto, museum, perpustakaan, atau pusat informasi lain biasanya
sudah memiliki tag identifikasi
gambar.
PHOTOGRAPH BY EDUARDO TEIXEIRA DE SOUSA, NATIONAL GEOGRAPHIC YOUR SHOT |
Diatas
merupakan contoh dari hasil heuristik sumber visual yang disadur dari laman web
[4].
Dalam Gambar tersebut Identitas pengambil gambar sudah jelas terpampang,
kemudian tanggal publikasi dan caption
foto juga sudah tersedia. Namun untuk menjadikan gambar ini sebagai sumber
sejarah masih perlu dilakukan koroborasi
agar mampu berbicara baik sumber lisan maupun tertulis. Contoh selanjutnya
adalah patung dirgantara atau acap kali disbeu sebagai patung pancoran yang
merupakan tinggalan dari masa orde lama. Patung tersebut dapat berbicara banyak
tentang perubahan sosial yang terjadi di Jakarta. Dengan tentu saja perlu bantuan dukungan dari
sumber lain dan juga teori dan konsep ilmu sosial lain seperti semantik,
sosiologi, atau pun komunikasi.
Dengan demikian sejarah visual dapat menjadi arah
metode rekonstruksi baru bagi sejarah. Tentu saja perlu pengembangan dan
perhatian khusus sejarawan untuk mengembangkan metode penelitian sejarah
visual. Untuk itu perlu kiranya untuk menggaet sejarawan muda yang memiliki
ketertarikan tinggi dalam memproyeksikan sejarah dalam bingkai sejarah visual
kedepan agar mampu menunjukan eksistensinya dalam ranah ilmu pengetahuan dan
juga sebagi hiburan yang mampu mengimbangi arus modern.
Sumber
Dienaputra, Reiza D. 2006. Sejarah Lisan : Konsep dan
Metode. Bandung : Penerbit
Minoor books
Gottschalk, Luis. 2008. Mengerti Sejarah. Jakarta :
Penerbit Universitas Indonesia
Lubis, Nina H.
2008. Metode Sejarah. Bandung : YMSI cabang Jawa Barat
Internet :