Selasa, 23 April 2019

Serie A : HEGEMONI SI NYONYA TUA , QUO VADIS ?


Juventus winning the 8th title of  Serie A
Illustrasi Skuad Juara Juventus

Pekan lalu menjadi momentum yang indah bagi fans Si Nyonya Tua. Kemenangan tipis atas Fiorentina di Allianz Stadium mengantarkan Juve merengkuh scudetto mereka untuk ke delapan kalinya berturut-turut.  Pesta pun sedemikian ramainya, orang-orang di kota Turin serentak merayakan gelar liga ke-35 mereka dengan berkumpul bersama di cafĂ©, square, dan pub-pub dengan terus bernyanyi dan mengusung panji-panji La Vecchia Signora di sekitar kota.

Para pemain, staf pelatih, hingga fans merayakan raihan mereka selama semusim. Tidak terkecuali sang mega bintang Cristiano Ronaldo yang sibuk melakukan selebrasi pertamanya  sebagai jawara di Serie A. Gelar ini merupakan gelar ke enam dari tiga liga berbeda selama karif profesionalnya (baca artikel : cristiano ronaldo serie a impact assessed as juventus near eighth straight title).

Delapan musim beruntun Juventus dengan mudah merengkuh scudetto, tidak banyak tim di Eropa yang sanggup konsisten untuk terus berprestasi di kompetisi domestik. Di tengah jadwal kompetisi domestik yang padat di tambah jadwal kompetisi di eropa Juventus sekali lagi membuktikan tajinya bahwa tahta serie A merupakan milik mereka.

Namun, seperkasa itukah Juventus di Italia ?

Juventus memang sudah berkuasa di Serie A selama  8 tahun berturut-turut. Setiap musimnya perolehan poin Juventus selalu di atas 80 poin dengan total poin hingga musim kedelapan adalah 724 poin. Jika dirata-ratakan permusim Juventus selalu mendapat 90.5 poin yang artinya dari 38 laga setiap musimnya Juventus selalu memenangi 20- 30 laga.

Catatan statistik mentereng Juventus di kompetisi domestik menempatkan Si Nyonya tua sebagai tim yang selalu di atas angin pada setiap gelaran Serie A. Sejak awal musim orang-orang sudah mengira Juventus akan menjadi juara. Dengan berbekal skuad mentereng berisi bintang-bintang top dunia sudah menjadi jaminan gelar juara akan tetap bertahan di Turin.
Belum lagi tim rival yang tidak konsisten dengan berbagai macam masalah pada manajemen dan persoalan internal membuat semakin digdayanya Juve.

Tapi apakah se-untochable kah Juventus ?

Meskipun Juventus di pandang sebagai salah satu tim sepakbola tersukses di dunia tidak serta merta menjadi tim yang tidak terkalahkan. Di musim ini dari lima laga terakhirnya Si nyonya tua hanya bisa meraup dua kemenangan, itupun dengan hasil skor yang tipis. Bahkan dalam pertandingan perempat final Liga Champion melawan Ajax Amsterdam, Juventus tidak mampu berbuat banyak. Padahal komposisi skuad yang dimainkan dalam dua leg tidak bisa dianggap buruk  (baca artikel : juventus have been in danger of collapse all season long against ajax it happened).

Dari banyak analisa yang utarakan oleh pandit-pandit sepakbola sejak awal paruh musim, permainan Juventus satu musim ini terlalu Ronaldo sentris. Sementara peran dari pemain lain seperti Mario madzukic dan Paulo Dybala terasa biasa-biasa saja. Bahkan selama satu musim ini torehan gol  Dybala jauh berkurang dari musim sebelumnya yang mampu melesakkan 36 gol dari 46 laga di semua ajang, sedang musim ini hanya mampu mencetak 10 gol dari 39 pertandingan (baca artikel : beberapa pemain juventus menderita dengan adanya ronaldo).

Sementara itu secara komposisi tim,  Allegri selalu memasang formasi 4-2-3-1, 4-3-3, atau 3-5-2 dimana Ronaldo selalu di plot menjadi juru gedor utama tim. Sementara itu di belakangnya ada Mandzukic serta Douglas Costa, Dybala, dan Bernardeschi yang di plot sebagai penyerang sayap/lubang sekaligus penyuplai bola.

Baik bermain dengan tiga bek sejajar ataupun dengan full back, secara konseptual tujuan akhir bola adalah Ronaldo. Hal ini tidak terjadi pada musim-musim sebelumnya, dimana Juventus lebih mengandalkan kekuatan sayap dan lini kedua untuk mengobrak abrik pertahanan lawannya. Tak ayal dari segi permainan yang terpusat ini membuat tim yang bermain high pressing seperti Ajax mampu untuk menekan habis Juventus.

Harusnya semua tim di Serie A sadar bahwa kelemahan ini bisa mereka manfaatkan menjadi kunci permainan mereka melawan Juventus. Namun, sayangnya tidak banyak tim yang mau bermain dengan high press melawan Juventus. Hanya beberapa tim yang mampu meladeni Juventus secara ketat.

Dalam. 8 tahun terakhir hanya Napoli penantang yang secara konsisten mampu memberi perlawanan sengit bagi Juventus. Meskipun hanya di paruh pertama musim, setidaknya itu dapat memberi ancaman bagi I Bianconneri.

Lalu kemanakah tim yang lainnya ?

As Roma, sebetulnya memiliki kans bear untuk menjadi penantang Juve. Namun, inkonsistensi dan sering berubahnya skema permainan karena hilir mudiknya pelatih dan pemain membuat Serigala Ibu Kota hanya bisa menyentuh peringkat tiga atau empat. Kondisi ini lebih baik jika dibandingkan dengan duo Milan, Lazio, dan Fiorentina.

Kita tahu bahwa selama seria A bergulir penantang berat Juve adalah duo Milan, yaitu AC dan Inter Milan.  Pada era awal millennium sampai kasus calciopolli yang menyeret Juventus ke jurang degradasi membuat persaingan lebih terbuka. Perburuan Scudetto praktis menjadi lebih mudah untuk duo milan.

Namun, sejak Juventus kembali dan mulai goyahnya sumber keuangan, duo Milan terus terseok-seok di bawah dominasi Juventus dan Roma. Napoli yang mulai bangkit dengan permainan ala gegenpressing nya mampu merangsek ke papan atas. Meninggalakan duo Milan di papan tengah.
Dua musim terkahir duo Milan berbenah dengan dana yang besar dari investor. Namun, hasilnya masih belum bisa untuk meruntuhkan dominasi Juve. AC milan yang selama 5 tahun terakhir di arsiteki oleh mantan pemainnya gagal memanfaatkan komposisi skuad yang mentereng (baca artikel : bukti ac milan sebenarnya tak jauh lebih baik daripada musim lalu). Begitu juga Inter Milan yang hanya mampu bersaing memperebutkan peringkat tiga dan empat.

Padahal jika kita mau membandingkan dengan musim 2010-2011, Juventus yang baru promosi pada dua musim sebelumnya berada jauh di bawah Inter, AC Milan, Roma, Napoli, bahkan Udinese yang kala itu diperkuat oleh Alexis Sanchez.

Banyak orang yang mengatakan kondisi Serie A sekarang sangat buruk, terlepas dari skandal calciopolli pada 2004-2006 (baca artikel : Calciopoli skandal yang menggegerkan jagat sepak bola italia). Serie A dalam satu dasawarsa terakhir hanya berada di peringkat ketiga di bawah Liga Inggris dan Spanyol. Bahkan pada 2006-2009 koefisiennya sempat di bawah Liga Portugal.

Dua pekan kemarin membuktikan bahwa tim-tim Serie A level permainannya masih kalah dari tim-tim dari Inggris dan Spanyol bahkan Belanda. Banyak pengamat melihat bahwa bukannya tim Italia itu lemah atau tidak lebih kuat dari Tim lain di Eropa. Namun, kompetisi yang sehat dan ketat merupakan iklim yang membentuk mereka bisa melangkah lebih baik. Sayangnya selama 8 tahun terakhir, Serie A hanya sebatas liga inagurasi Juventus. Dan jika dilihat dari statistik capaian paling tinggi hanya dapat di wakili Juve pada kompetisi 2011 dan 2014.

Apakah kondisi ini akan terus berlangsung  ?  Serie A Quo Vadis ?  


  




Kamis, 11 April 2019

Sebuah Jalan Penuh Alasan : Keraguan Berpolitik


Berkomentar tentang politik pada tahun politik memang cukup menyita energi. Apalagi acap kali menemukan individu atau kelompok yang saling menyudutkan satu sama lain. Padahal perbedaan itu salah satu nikmat yg harus disyukuri. Namun, banyak orang yang memandang berbeda.

Pada tahun politik ini aku sempat bersitegang dengan beberapa individu yang mengatasnamakan diri sebagai pendukung paslon 01 dan 02. Aku sebagai orang yang tidak memihak kepada siapapun selalu berusaha medudukan diri ditengah-tengah. Mengamati proses yang sedang berlangsung seraya melihat apa saja yang ditawarkan oleh masing-masing kubu.

Sampai saat ini mungkin aku termasuk orang yang naif, seringkali berbicara tentang proses politik namun belum memutuskan untuk terjun pada dunia itu. Hal tersebut sebetulnya bukan tanpa alasan, mengingat aku memang tidak tertarik untuk mencelupkan diri. Aku lebih memilih duduk dibangku penonton dan menikmati suguhan pertunjukan politik dari rekan-rekan politikus senior atau rekan-rekan sejawat yang sudah bermain dalam dunia politik.

Namun, benar apa yang dikatakan Plato, kita memang tidak bisa dipungkiri sebagai  homo politicus yang terlahir dengan elemen politik didalamnya. Dan begitupun denganku,  Aku tetap memiliki hasrat politik yang sama seperti rekan-rekan yang lain. Bedanya, aku memendam hasrat itu begitu dalam. Hingga akupun lupa kapan akan mengeluarkan semuanya.

Terkadang, dalam benakku selalu muncul rasa iri melihat rekan-rekan yang mampu menghabiskan waktu lama dengan lawan bicara politiknya. Apalagi orang-orang yang punya jiwa muda, seakan ada api idealisme yang berkobar pada sorot mata mereka.

Suatu waktu, aku bertemu dengan kawan lama yang sudah banyak membicarakan tentang politik praktis yang sudah lama kuhindari. Begitu terobsesinya dia untuk menjadi bagian dari pesta politik hingga menempuh banyak jalan untuk sampai ke pesta tersebut. Aku selau mengamati apa yang dia lakukan, terus terang saja aku muak ketika ia datang dengan topik yang sama berulang-uang. Namun, tidak sama sekali memilikki mimpi yang lebih besar ketimbang menjadi orang-orang yang duduk di kursi parlemen. Bahkan, terkadang hal tersebut acapkali dijadikan sebagai guyonan yang menurutku itu menjengkelkan.

Namun, di sisi lain aku prihatin dan sangat bersimpati. Bukan karena apa yang ia inginkan namun pada nasibnya kelak ketika tahu lebih jauh dan merasakan sendiri begitu kerasnya dunia politik. Saat dia sendang bicara Aku mengamati, terlihat dari sorot matanya terlintas keraguan yang besar ketika aku membicarakan hal-hal kotor yang akan menimpanya.

Bagiku, politik itu bukan seperti dunia serius yang selalu kita pegang erat-erat seperti memutuskan tali mana yang akan kita pegang selamanya. Banyak hal yang tidak bisa diprediksi dan terlalu prediktif dan percaya adalah hal yang bodoh. 

Aku ingat pepatah politik lama “Tidak ada musuh dan kawan abadi dalam dunia politik yang ada hanya kepentingan yang abadi”. Sungguh absurd memang dunia politik itu, entah suka atau tidak itu lah akhir dari apa yang akan didapat ketika menyelam didalamnya.

Aku selalu mewanti-wanti kawanku  dengan pepatah “Kalah menjadi abung menang menjadi arang”, pilihan itu yang akan menghantui setiap langkah politik yang diambil.
Karena dalam dunia politik kita tidak melulu soal idealisme yang menggebu-gebu, ada banyak kompromi menyertainya. Terkadang hal itu mungkin busuk bagai buah mengkudu, namun ada sela-sela yang memiliki jalan yang manis seperti madu.

Itu lah konsekuensi, jujur saja aku belum sampai ketahap itu. Belum cukup bekalku untuk mampu bertahan, jika aku paksakan hanya penyesalan yang akan didapatkan.



Paris van Java, 7 April 2019

Max Verstehen