Berkomentar tentang politik pada tahun politik memang cukup menyita energi. Apalagi acap kali menemukan individu atau kelompok yang saling menyudutkan satu sama lain. Padahal perbedaan itu salah satu nikmat yg harus disyukuri. Namun, banyak orang yang memandang berbeda.
Pada tahun
politik ini aku sempat bersitegang dengan beberapa individu yang
mengatasnamakan diri sebagai pendukung paslon 01 dan 02. Aku sebagai orang yang
tidak memihak kepada siapapun selalu berusaha medudukan diri ditengah-tengah.
Mengamati proses yang sedang berlangsung seraya melihat apa saja yang
ditawarkan oleh masing-masing kubu.
Sampai saat ini
mungkin aku termasuk orang yang naif, seringkali berbicara tentang proses
politik namun belum memutuskan untuk terjun pada dunia itu. Hal tersebut
sebetulnya bukan tanpa alasan, mengingat aku memang tidak tertarik untuk
mencelupkan diri. Aku lebih memilih duduk dibangku penonton dan menikmati
suguhan pertunjukan politik dari rekan-rekan politikus senior atau rekan-rekan
sejawat yang sudah bermain dalam dunia politik.
Namun, benar
apa yang dikatakan Plato, kita memang tidak bisa dipungkiri sebagai homo politicus
yang terlahir dengan elemen politik didalamnya. Dan begitupun denganku, Aku tetap memiliki hasrat politik yang sama
seperti rekan-rekan yang lain. Bedanya, aku memendam hasrat itu begitu dalam.
Hingga akupun lupa kapan akan mengeluarkan semuanya.
Terkadang,
dalam benakku selalu muncul rasa iri melihat rekan-rekan yang mampu
menghabiskan waktu lama dengan lawan bicara politiknya. Apalagi orang-orang
yang punya jiwa muda, seakan ada api idealisme yang berkobar pada sorot mata
mereka.
Suatu waktu,
aku bertemu dengan kawan lama yang sudah banyak membicarakan tentang politik
praktis yang sudah lama kuhindari. Begitu terobsesinya dia untuk menjadi bagian
dari pesta politik hingga menempuh banyak jalan untuk sampai ke pesta tersebut.
Aku selau mengamati apa yang dia lakukan, terus terang saja aku muak ketika ia datang
dengan topik yang sama berulang-uang. Namun, tidak sama sekali memilikki mimpi
yang lebih besar ketimbang menjadi orang-orang yang duduk di kursi parlemen.
Bahkan, terkadang hal tersebut acapkali dijadikan sebagai guyonan yang
menurutku itu menjengkelkan.
Namun, di sisi
lain aku prihatin dan sangat bersimpati. Bukan karena apa yang ia inginkan namun
pada nasibnya kelak ketika tahu lebih jauh dan merasakan sendiri begitu
kerasnya dunia politik. Saat dia sendang bicara Aku mengamati, terlihat dari
sorot matanya terlintas keraguan yang besar ketika aku membicarakan hal-hal
kotor yang akan menimpanya.
Bagiku, politik
itu bukan seperti dunia serius yang selalu kita pegang erat-erat seperti
memutuskan tali mana yang akan kita pegang selamanya. Banyak hal yang tidak
bisa diprediksi dan terlalu prediktif dan percaya adalah hal yang bodoh.
Aku ingat
pepatah politik lama “Tidak ada musuh dan kawan abadi dalam dunia politik yang
ada hanya kepentingan yang abadi”. Sungguh absurd memang dunia politik itu,
entah suka atau tidak itu lah akhir dari apa yang akan didapat ketika menyelam
didalamnya.
Aku selalu mewanti-wanti kawanku dengan pepatah “Kalah menjadi abung menang
menjadi arang”, pilihan itu yang akan menghantui setiap langkah politik yang
diambil.
Karena dalam
dunia politik kita tidak melulu soal idealisme yang menggebu-gebu, ada banyak
kompromi menyertainya. Terkadang hal itu mungkin busuk bagai buah mengkudu,
namun ada sela-sela yang memiliki jalan yang manis seperti madu.
Itu lah
konsekuensi, jujur saja aku belum sampai ketahap itu. Belum cukup bekalku untuk
mampu bertahan, jika aku paksakan hanya penyesalan yang akan didapatkan.
Paris van Java, 7 April 2019
Max Verstehen
0 komentar:
Posting Komentar