Kamis, 11 April 2019

Sebuah Jalan Penuh Alasan : Keraguan Berpolitik


Berkomentar tentang politik pada tahun politik memang cukup menyita energi. Apalagi acap kali menemukan individu atau kelompok yang saling menyudutkan satu sama lain. Padahal perbedaan itu salah satu nikmat yg harus disyukuri. Namun, banyak orang yang memandang berbeda.

Pada tahun politik ini aku sempat bersitegang dengan beberapa individu yang mengatasnamakan diri sebagai pendukung paslon 01 dan 02. Aku sebagai orang yang tidak memihak kepada siapapun selalu berusaha medudukan diri ditengah-tengah. Mengamati proses yang sedang berlangsung seraya melihat apa saja yang ditawarkan oleh masing-masing kubu.

Sampai saat ini mungkin aku termasuk orang yang naif, seringkali berbicara tentang proses politik namun belum memutuskan untuk terjun pada dunia itu. Hal tersebut sebetulnya bukan tanpa alasan, mengingat aku memang tidak tertarik untuk mencelupkan diri. Aku lebih memilih duduk dibangku penonton dan menikmati suguhan pertunjukan politik dari rekan-rekan politikus senior atau rekan-rekan sejawat yang sudah bermain dalam dunia politik.

Namun, benar apa yang dikatakan Plato, kita memang tidak bisa dipungkiri sebagai  homo politicus yang terlahir dengan elemen politik didalamnya. Dan begitupun denganku,  Aku tetap memiliki hasrat politik yang sama seperti rekan-rekan yang lain. Bedanya, aku memendam hasrat itu begitu dalam. Hingga akupun lupa kapan akan mengeluarkan semuanya.

Terkadang, dalam benakku selalu muncul rasa iri melihat rekan-rekan yang mampu menghabiskan waktu lama dengan lawan bicara politiknya. Apalagi orang-orang yang punya jiwa muda, seakan ada api idealisme yang berkobar pada sorot mata mereka.

Suatu waktu, aku bertemu dengan kawan lama yang sudah banyak membicarakan tentang politik praktis yang sudah lama kuhindari. Begitu terobsesinya dia untuk menjadi bagian dari pesta politik hingga menempuh banyak jalan untuk sampai ke pesta tersebut. Aku selau mengamati apa yang dia lakukan, terus terang saja aku muak ketika ia datang dengan topik yang sama berulang-uang. Namun, tidak sama sekali memilikki mimpi yang lebih besar ketimbang menjadi orang-orang yang duduk di kursi parlemen. Bahkan, terkadang hal tersebut acapkali dijadikan sebagai guyonan yang menurutku itu menjengkelkan.

Namun, di sisi lain aku prihatin dan sangat bersimpati. Bukan karena apa yang ia inginkan namun pada nasibnya kelak ketika tahu lebih jauh dan merasakan sendiri begitu kerasnya dunia politik. Saat dia sendang bicara Aku mengamati, terlihat dari sorot matanya terlintas keraguan yang besar ketika aku membicarakan hal-hal kotor yang akan menimpanya.

Bagiku, politik itu bukan seperti dunia serius yang selalu kita pegang erat-erat seperti memutuskan tali mana yang akan kita pegang selamanya. Banyak hal yang tidak bisa diprediksi dan terlalu prediktif dan percaya adalah hal yang bodoh. 

Aku ingat pepatah politik lama “Tidak ada musuh dan kawan abadi dalam dunia politik yang ada hanya kepentingan yang abadi”. Sungguh absurd memang dunia politik itu, entah suka atau tidak itu lah akhir dari apa yang akan didapat ketika menyelam didalamnya.

Aku selalu mewanti-wanti kawanku  dengan pepatah “Kalah menjadi abung menang menjadi arang”, pilihan itu yang akan menghantui setiap langkah politik yang diambil.
Karena dalam dunia politik kita tidak melulu soal idealisme yang menggebu-gebu, ada banyak kompromi menyertainya. Terkadang hal itu mungkin busuk bagai buah mengkudu, namun ada sela-sela yang memiliki jalan yang manis seperti madu.

Itu lah konsekuensi, jujur saja aku belum sampai ketahap itu. Belum cukup bekalku untuk mampu bertahan, jika aku paksakan hanya penyesalan yang akan didapatkan.



Paris van Java, 7 April 2019

Max Verstehen




0 komentar: