Rabu, 03 Mei 2017

Berbicara pendidikan, tepat pada hari ini 2 Mei  seorang yang kita kenal sebagai Bapak Pendidikan Indonesia lahir . 128 tahun lalu, seorang anak Ningrat yang dewasanya memberi pengaruh luar biasa pada dunia pendidikan di Indonesia. Namanya yang membumi dan mengangkasa selalu teringat sepanjang masa. 


Hasil gambar untuk kesejahteraan petani
Saya teringat ketika masa-masa awal sekolah di Sekolah Dasar. Setiap hari senin saya selalu diingatkan untuk mengingat besarnya nama seorang Ki Hajar Dewantara. Siapakah dia ?, hingga namanya terngiang seantero negeri terutama dalam bidang Pendidikan. 

Nama kecilnya adalah Raden Mas Soerjadi Soerjaningrat, lahir di Pakualaman tanggal 2 Mei 1889. Dia merupakan putra dari GPH Soerjaningrat dan cucu dari Pakualam III. Menamatkan sekolah dasar di ELS ( Europea Lagere School ). Sempat mencicipi sekolah di STOVIA ( School tot Opleding van Indische Artsen ) atau Sekolah Dokter Pribumi. Namun, tidak sempat lulus karena mengalami sakit.  


Pasca keluar dari STOVIA, Soewardi banyak menghabiskan waktu dengan belajar membaca dan menulis. Karyanya banyak dimuat bahkan dia menjadi penulis dan wartawan dibeberapa media massa diantaranya SediotomoMidden JavaDe ExpresOetoesan HindiaKaoem MoedaTjahaja Timoer, dan Poesara. 

Tulisan-tulisannya terutama dalam harian De Expres banyak mengkritik kebijakan yang dijalankan oleh Pemerintahan Kolonial. Saya masih teringat dengan artikel besar yang ia tulis yang kira-kira judulnya "als ik een nerlanders was" atau dalam bahasa Indonesia "andai aku seorang Belanda". 

Kalau saya sorang Belanda, sekarang pada saat ini, saya akan memprotes tentang maksud perayaan itu. Saya akan menulis dalam segala surat kabar bahwa itu salah, saya akan menasihati sesama kaum penjajah, bahwa berbahaya di waktu sekarang mengadakan pesta kemerdekaan, saya akan mendesak kepada segala orang Belanda supaya jangan melukai perasaan bangsa Hindia Belanda yang mulai bangun dan sadar itu agar supaya ia jangan sampai naik darah. Sungguh, saya akan memprotes dengan segala tenaga yang ada pada saya.
Tetapi………saya ini bukan orang Belanda, saya cuma putra negeri tropika ini yang berkulit warna sawo, seorang bumiputra jajahan Belanda ini, dan karena itu saya tidakan akan memprotes.
Karena, kalau saya memprotes, orang akan marah pada saya. Saya akan dipersalahkan menghasut bangsa Belanda, yang memerintah disini di negeri saya dan menjauhkan mereka itu dari saya. Dan itu saya tidak mau, itu tidak boleh saya perbuat. Apabila saya orang Belanda, bukankah saya tidak mau menghina bangsa bumiputra?
Juga orang akan menuduh saya kurang ajar terhadap Sri Ratu, raja kita yang dihormati, dan itu tidak dapat diampuni, sebab saya rakyatnya yang selalu harus setia kepada beliau.
Dan karena itu saya tidak memprotes!
Sebaliknya, saya akan ikut merayakan.

Selasa, 02 Mei 2017

Review Jurnal “Gerakan Messianistik Albert Detz Di Semarang Tahun 1918”

Hasil gambar untuk mesias abad 20
Sebuah eskalasi gerakan kontra kolonialisme bukan hanya terjadi dalam dimensi politik. Namun malah banyak terjadi di ranah social kemasyarakatan. Dalam tipologi sartono kartodirjo yang meliupti Millenarianisme, Mesianisme, Nativisme, dan Gerakan Perang Suci, jurnal ini masuk kedalam Millenarianisme dan Messianisme. Millenarianisme sendiri adalah suatu paham perubahan yang berlandaskan pada keadaan yang tidak sesuai dengan kehendak sehingga memunculkan gagasan untuk menuju perubahan yang lebih baik. Sedangakan Mesianisme adalah paham menganai kedatangan Ratu Adil yang digadang-gadang akan muncul guna membawa kebenaran, kesejahteraan, dan mengahapus pinindasan.
Menurut Neil J Smelser dalam teori collective behavior setiap gerakan memiliki factor pencetus ( Precipitating Factor ) pasti memiliki aktor pendorong dalam suatu gerakan social. Baik itu kaum elite atau bisa muncul dari kalangan biasa.
Dalam Jurnal ini muncul nama albert Dietz atau Goesti Muhammad yang merupakan anak tunggal  dari Ratu Kedaton Permaisuri Sri Sultan Hamengkubuwono ke – V. Walaupun ia adalah seorang keturunan raja namun kehidupannya sangatlah sulit. Sampai pada suatu saat Albert dan Ibundanya harus terusir dari Keraton dan dibundang ke Menado. Pengusiran yang terjadi akibat dari persoalan politik internal keluarga yang dikhawatirkan akan memecah belah keraton.