Ilustrasi Fashion Show dengan Kebaya |
21 April setiap
tahunnya diperingati sebagai Hari Kartini. Euforia yang berlangsung sangat
meriah diberbagai penjuru daerah di Indonesia. Berbagai kegiatan dilakukan untuk
memperingati Hari Kartini. Dari mulai lomba memasak, bernyanyi, hingga fashion
show.
Ada yang selalu terlihat
dalam euphoria tersebut, yaitu kebaya, sanggul, dan kain batik. Seolah menjadi
sebuah budaya di masyarakat, semua itu merupakan hal yang wajib ada setiap
peringatan hari Kartini. Hal tersebut pun menjadi sebuah keharusan bagi
perempuan dari usia belia hingga dewasa.
Saya melihat hal
yang membosankan dari tahun ketahun. Momentum hari kartini selalu diisi dengan
lomba fashion show. Anak-anak tak luput dari euphoria ini, dari tingkat Taman
Kanak-kanak hingga Sekolah Menengah Atas semuanya bersolek untuk menjadi yang
paling cantic dengan kebaya, sanggul. Dan kain batik nya.
Tentu saja hal ini
mengherankan, bagi saya hal tersebut membuang-buang tenaga, pikiran, dan tentu
saja uang, karena pastinya untuk bersolek diri mereka pergi ke salon dan
membutuhkan waktu berjam-jam. Sungguh tradisi yang mempersulit diri sendiri.
Tradisi kebaya di
Hari Kartini muncul di masa Orde Baru, dimana 21 April dirayakan dengan pesan,
bagaimana perempuan harus mencitrakan diri seperti apa yang dipakai Kartini
( https://nationalgeographic.co.id/berita/2018/04/kartini-kebaya-dan-salah-paham-makna-perjuangan-perempuan
diakses pada 21 April 2018 ). Hal tersebut membuat saya berpikir panjang,
bagaimana busana yang Kartini pakai merepresentasikan jiwa Kartini itu sendiri,
lantas bagaimana dengan pemikiran dan gagasan mengenai pendidikan bagi
perempuan Indonesia ?. Apakah hal tersebut bukan merupakan hal yang penting
untuk menjadi sebuah pedoman di masa sekarang ?.
Pertanyaan-pertanyaan
tersebut merupakan sebuah kekecewaan saya terhadap segelintir kelompok yang
terus memegang tradisi demikian. Tradisi
feudal yang berdiam cukup lama dan terus dipertahankan hingga sekarang. Padahal
ruang untuk mengekspresikan nilai-nilai perjuangan kartini begitu besar. Mulai
dari organisasi sosial bagi perempuan muda dan dewasa atau menggiatkan literasi
bagi murid-murid Sekolah Dasar.
Persepsi tentang
siapa itu Kartini dan perjuangannya demi kesetaraan posisi dan tempat perempuan
di masyarakat kiranya perlu dirubah oleh masyarakat millennial. Pemaknaan
terhadap perjuangan Kartini akhirnya terjebak dalam simbol visual yang secara
fisik adalah Kartini. Bukan perjuangannya. Bahkan tidak sedikit pihak-pihak
yang menggunakan Kartini sebagai media promosi. Bentuk visualisasi Kartini digunakan
oleh pegiat bisnis untuk menarik pembeli. Sungguh tega bangsa kita
memperlakukan seoarang Pahlawan Nasional sebagai bahan bakar komersil.
“Berhenti”, mulai
dari sekarang sebagai generasi millennial hal ini harus berubah tradisi
tersebut harus dikikis. Dimulai dari menghilangkan persepsi bahwa untuk
menghargai Kartini harus ber-kebaya setiap 21 April. Hal ini bisa dilakukan
dari tingkat Sekolah Dasar yang meprioritaskan kegiatan membaca dan menulis
surat atau puisi untuk memperingati hari Kartini.
Dan tentu saja hal
ini harus dimulai secepat mungkin, sehingga nilai-nilai perjuangan Kartini
tidak hanya diisi oleh kemolekan perempuan dalam kebayanya. Tapi terlihat dari
sisi kemajuan dan intelektualitasnya.
Atas
nama generasi Millenial
Max Verstehen