Minggu, 22 April 2018

Tradisi dan Perubahan Persepsi 21 April


Hasil gambar untuk kebaya kartinian
Ilustrasi Fashion Show dengan Kebaya
21 April setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Kartini. Euforia yang berlangsung sangat meriah diberbagai penjuru daerah di Indonesia. Berbagai kegiatan dilakukan untuk memperingati Hari Kartini. Dari mulai lomba memasak, bernyanyi, hingga fashion show.

Ada yang selalu terlihat dalam euphoria tersebut, yaitu kebaya, sanggul, dan kain batik. Seolah menjadi sebuah budaya di masyarakat, semua itu merupakan hal yang wajib ada setiap peringatan hari Kartini. Hal tersebut pun menjadi sebuah keharusan bagi perempuan dari usia belia hingga dewasa.

Saya melihat hal yang membosankan dari tahun ketahun. Momentum hari kartini selalu diisi dengan lomba fashion show. Anak-anak tak luput dari euphoria ini, dari tingkat Taman Kanak-kanak hingga Sekolah Menengah Atas semuanya bersolek untuk menjadi yang paling cantic dengan kebaya, sanggul. Dan kain batik nya.

Tentu saja hal ini mengherankan, bagi saya hal tersebut membuang-buang tenaga, pikiran, dan tentu saja uang, karena pastinya untuk bersolek diri mereka pergi ke salon dan membutuhkan waktu berjam-jam. Sungguh tradisi yang mempersulit diri sendiri.

Tradisi kebaya di Hari Kartini muncul di masa Orde Baru, dimana 21 April dirayakan dengan pesan, bagaimana perempuan harus mencitrakan diri seperti apa yang dipakai Kartini (  https://nationalgeographic.co.id/berita/2018/04/kartini-kebaya-dan-salah-paham-makna-perjuangan-perempuan diakses pada 21 April 2018 ). Hal tersebut membuat saya berpikir panjang, bagaimana busana yang Kartini pakai merepresentasikan jiwa Kartini itu sendiri, lantas bagaimana dengan pemikiran dan gagasan mengenai pendidikan bagi perempuan Indonesia ?. Apakah hal tersebut bukan merupakan hal yang penting untuk menjadi sebuah pedoman di masa sekarang ?.

Pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan sebuah kekecewaan saya terhadap segelintir kelompok yang terus memegang tradisi demikian.  Tradisi feudal yang berdiam cukup lama dan terus dipertahankan hingga sekarang. Padahal ruang untuk mengekspresikan nilai-nilai perjuangan kartini begitu besar. Mulai dari organisasi sosial bagi perempuan muda dan dewasa atau menggiatkan literasi bagi murid-murid Sekolah Dasar.

Persepsi tentang siapa itu Kartini dan perjuangannya demi kesetaraan posisi dan tempat perempuan di masyarakat kiranya perlu dirubah oleh masyarakat millennial. Pemaknaan terhadap perjuangan Kartini akhirnya terjebak dalam simbol visual yang secara fisik adalah Kartini. Bukan perjuangannya. Bahkan tidak sedikit pihak-pihak yang menggunakan Kartini sebagai media promosi. Bentuk visualisasi Kartini digunakan oleh pegiat bisnis untuk menarik pembeli. Sungguh tega bangsa kita memperlakukan seoarang Pahlawan Nasional sebagai bahan bakar komersil.

“Berhenti”, mulai dari sekarang sebagai generasi millennial hal ini harus berubah tradisi tersebut harus dikikis. Dimulai dari menghilangkan persepsi bahwa untuk menghargai Kartini harus ber-kebaya setiap 21 April. Hal ini bisa dilakukan dari tingkat Sekolah Dasar yang meprioritaskan kegiatan membaca dan menulis surat atau puisi untuk memperingati hari Kartini.

Dan tentu saja hal ini harus dimulai secepat mungkin, sehingga nilai-nilai perjuangan Kartini tidak hanya diisi oleh kemolekan perempuan dalam kebayanya. Tapi terlihat dari sisi kemajuan dan intelektualitasnya.


                                                                                    Atas nama generasi Millenial


Max Verstehen